Menjadi
pemberi kebenaran adalah suatu cita-cita, bahkan lebih dari sekedar cita-cita,
ia adalah asa, adalah dahaga yang tak terpuaskan hanya dengan ilmu seadanya.
Menyampaikan kebenaran menjadi kata wajib yang Allah SWT sematkan kepada
penduduk bumi. Sebelum menyampaikan kebenaran, pemberi kebenaran juga perlu
membekali diri dengan petunjuk yang Allah SWT beri melalui nabiNya, Al-qur’an.
Pada surat Al-Asr Allah SWT berkata dengan begitu lembut bahwa manusia berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh serta
saling MENASEHATI dalam kebenaran dan kesabaran. Menasehati dalam kebenaran dan kesabaran
adalah kata kunci dari segala aktifitas yang mengajak pada kebaikan, entah itu
dengan lisan, maupun dengan tulisan. seorang ulama salaf pernah berkata dalam
Tafsir Al Qurthubi:
“Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga
sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri,
kehidupan menjadi tidak terarah…”[1]
Menulis
merupakan menjadi sebuah hobi bagi saya, termasuk menulis suatu nasehat atau
tausyiah tentang suatu hal yang pernah dirasakan atau bahkan belum pernah saya
rasakan. Suatu waktu, saya memaparkan pentingnya menikah meskipun pada kenyataan
saya belum menikah. Tidak ada yang salah menurut saya ketika menulis hal
tersebut, namun ternyata ada yang berkomentar bahwa: “belum menikah tapi nulis
tentang nikah, itu namanya kaburo maqtan ‘indallahi an taquuluu maa laa
taf’alun” yang tertera di Q.S As-Saff:3. Saya berbaik sangka bahwa mungkin yang
berkomentar bermaksud bercanda, tapi apa salahnya saya menulis tentang
pernikahan meskipun saya belum menikah? Lagipula Allah berkata dalam ayat yang
dimaksud adalah dengan “sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan
apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. Yang tidak kamu kerjakan, bukan yang belum
kamu kerjakan, jadi boleh kan saya menulis tentang pernikahan?? J
Selain
kejadian tersebut, saya pun sering kali memberikan pandangan tentang membahagiakan
orang hamil, mengasuh anak dan nasehat-nasehat lainnya meskipun pada akhirnya
tetap berujung dengan pertanyaan: “memangnya sudah pernah?” oh Allah, mohon
jangan hilangkan niat menasehati meskipun takdirMu berkata BELUM tentangku. Salahkah
jika kami, yang berniat memberi nasehat, yang belum Kau takdirkan merasakan
suatu hal untuk menasehati orang lain tentang hal tersebut? Mohon ampuni jika
memang kami salah duhai Maha Pengampun.
Untuk
hal ini, saya hanya bisa berkomentar bahwa apa manfaatnya hidup bersosial di
tengah-tengah masyarakat jika kita hanya boleh mengambil pelajaran dari
pengalaman diri sendiri?? Lagipula, dalam Q.S Al-Asr yang sudah saya paparkan
di atas tidak membatasi bahwa “berilah nasehat jika kamu sudah pernah
mengalaminya”. Allah SWT tidak membatasi seperti itu kan? Tapi kenapa kita
membatasi seseorang untuk memberikan suatu nasehat meskipun mungkin orang
tersebut belum pernah mengalaminya.
Meskipun
ada seseorang yang tertakdir untuk belum mengalami suatu hal, bukan berarti
seseorang tersebut tidak memiliki ilmu sama sekali, karena sudah jelas Allah
SWT memerintahkan kita untuk mencari ilmu dan menjadi orang yang berilmu.
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (QS. Al
Mujadilah (58): 11)
Ilmu yang
tidak selalu harus dari pengalaman pribadi, ilmu yang wajib dimiliki oleh
siapapun, ilmu yang dengannya Allah SWT memuliakan kita, tidak ada batasan,
tidak ada celaan, tidak ada keraguan. Ketika merasa tidak memiliki ilmu karena
pengalaman sendiri, kita masih bisa bertanya pada saudara seiman yang sudah
berpengalaman. Kita menjadi kaya, bukan karena pengalaman pribadi, tetapi juga
karena kita mengumpulkan pengalaman dari orang lain. Meskipun kita tidak mengalami
sendiri, bukankah hidup adalah pengulangan-pengulangan sejarah yang pernah
terjadi pada kehidupan sebelumnya. Allah SWT pun telah mengabadikan segala
kisah, tentang pernikahan, kehamilan, pengasuhan, jual beli, dan lainnya dalam
sebuah surat cinta yang turun melalui RosulNya. “ Kitab Al-qur’an ini tidak ada
keraguan padanya; PETUNJUK bagi mereka yang bertakwa” Q.S Al-Baqarah:2
Selama
al-qur’an kita jadikan petunjuk, selama assunah kita jadikan pelengkap hidup
maka sebelum mengalami suatu hal pun in syaa Allah kita memiliki ilmunya,
takkan tersesat takkan kehilangan arah. Jangan pernah ragu menasehati, bukan
karena saya ataupun kalian merasa lebih dari yang lain, bukan itu, tapi ini
semata karena perintah Allah pada kita. Cobalah untuk menahan komentar yang
akan membuat seseorang berpikir ulang untuk memberi nasehat dengan alasan “saya
belum pantas membicarakan hal ini karena saya belum mengalami” Jika demikian,
mungkin tak akan ada yang membicarakan kenikmatan syurga sebagai tujuan kita,
karena kita belum pernah hidup di sana. Berilah nasehat, karena mungkin saja
memberi nasehat adalah jalan Allah SWT untuk memberi kita kesempatan mengalami
hal yang belum pernah kita alami.
Menasehati
orang lain sebenarnya adalah menasehati sendiri, dengan menasehati orang lain
secara langsung kita sedang memberi pengingatan kepada diri sendiri tentang apa
yang dinasehatkan pada orang lain. Maka, jangan pernah berhenti menasehati
karena takut dengan omongan orang, karena menasehati adalah hak diri kita untuk
juga mendapatkan sebuah pengingat dari sendiri. Jangan membatasi diri dan ilmu
yang kita punya hanya karena kita tertakdir belum merasakannya. Diantara
orang-orang yang saling menasehati akan selalu tercipta diantaranya orang-orang
yang tak terima dinasehati, bahkan lebih banyak orang-orang yang cenderung
memusuhi, jika ada yang mengoreksi nasehatmu berbahagialah karena dengan begitu
kau pun tengah dinasehati olehnya.
Selamat hidup
dengan lingkungan yang saling memberi nasehat, jadilah penyeru yang baik, dan
jadilah penyeru yang ikhlas. Ikhlas pada apapun reaksi dari orang yang kita
nasehati. Ambil cinta dari langit, dan
kita sebarkan ke bumi, dengan cinta.
Semoga Allah SWT menjaga kita dari kesombongan yang
jelas maupun yang samar.
0 komentar:
Posting Komentar