Pembelajaran sudah berlangsung
sekitar 10 menit yang lalu, kemudian ada suara ketukan dari pintu, ah itu siswa
yang terlambat lagi. Tapi siapakah dia? Saya baru pertama kali melihat dia di
kelas ini. Kemudian saya bertanya sambil berbisik pada siswa yang duduk di
dekat meja saya.
“dia siapa?” tanyaku dengan suara
sangat pelan.
“itu loh kak, yg alumni Gontor”
jawab siswa mengenalkan temannya.
Deg, dengar kata Gontor tiba-tiba
aja nyali saya langsung mengempis. “hah? Apah? Gontor?hah, siap gak yaaa
menyampaikan materi keIslaman di depan siswa alumni Gontor?” dialog saya dalam
hati semakin terdramatisir atas bantuan AC yang mati di ruang kelas. Keringat
bercucuran menandakan saya benar-benar gugup dan benar-benar kepanasan. Eh
tapi, kegugupan saya tersalurkan atas pernyataan bodoh yang lewat tanpa permisi
dari mulut saya di depan siswa saya.
“duh, kok saya jadi gugup ya?”
curhat terselubung saya pada siswa.
“jangan gugup donk kak, kakak kan
pengajarnya, kalau kakak gugup gimana dengan kita?kakak bisa kok” jawabnya
menguatkan sambil ditambahi dengan anggukan pasti.
Senyum saya tiba-tiba mengembang,
dinasehati oleh siswa itu ada kebahagiaan tersendiri buat saya. Saya
pengajarnya, terlebih saya pengajar BIP di sana, tapi saya dapat kekuatan dari
dia. Ah kali ini begitu hebat, saya jadi klien dadakan di depan siswa saya.
Segera, saya kuasai diri saya,
saya bangun kepercayaan diri saya untuk menyampaikan materi dalam sisa 50 menit
selanjutnya sambil berdoa “Robbishrohli shodri wa yassirli amri wahlul ‘uqdatammillisaani
yafqohuu qouli”. Semoga tak ada yang salah dalam penyampaian materi saya kali
ini. Materi kali ini tentang pandangan Islam mengenai orang tua yang sering
kita lupakan. Menit ke menit saya lalui tetap dengan keringat yang mengucur
deras sambil sesekali berebut udara dengan kira-kira 20 siswa di dalam yang
juga kepanasan karena AC kelas mati. Pengap, hah hoh hah hoh.
Kira-kira 20 siswa yang
kesemuanya laki-laki menatap saya dengan tatapan yang sulit saya terjemahkan. Pahamkah
siswa? Terlalu cakepkah saya sampai siswa menatap saya seperti itu? *eaaaa
Tapi serius deh, ucapan siswa di
awal tadi memberi kekuatan tersendiri buat saya sampai dimenit-menit terakhir
pelajaran saya. Ditambah dengan anggukan dan tatapan dari siswa-siswa tersebut
membuat saya semakin lancar berbicara sambil diselingi pertanyaan-pertanyaan dan
diskusi dari siswa. Hai siswa Gontor, diam saja dia sambil sekali-kali senyum,
apakah artinya?salahkah ayat yang saya sampaikan? Ah semoga benar ya.
10 menit berlalu dari bel, masih
ada siswa yang bertanya, sampai ada satu siswa yang mengingatkan “kak, pengajar
berikutnya udah nungguin di depan”
Alhamdulillah ya Allah, telah
melancarkan segala penyampaian materi hari ini.
***
Singkat cerita dari pengalaman
saya mengajar di kelas Ronin. Entah kenapa saya paling bahagia jika diberi
amanah mengajar Ronin. Bukan karena merasa
usianya dekat, bukan karena faktor siswa yang cakep-cakep, bukan karena faktor usia,
tapi terlebih karena kami sering saling nasehat-menasehati, saling ingat-mengingatkan,
saling kuat-menguatkan, itu faktornya.
Pernah, dengan siswa ronin juga,
saya dinasehati untuk tidak “galau”. Gak tau apa faktor yang membuat dia
melihat saya sedang galau, intinya dia berpesab “kakak gak boleh galau, kalau
kakak galau gimana dengan siswa-siswa kakak”. Aaahhh baiklah, terima kasih
sudah mengingatkan bahwa semestinya hadir saya menguatkan bukan melemahkan J
Memiliki mereka membuat saya
sadar bahwa saya manusia loh, punya kelemahan yang kadang-kadang secara tidak
sadar terlihat oleh mereka, dan bahagianya, saat saya berada dikeadaan seperti
ini mereka lah yang memberi kekuatan. Seolah berkata “kakak pasti bisa!!!”
***
Itu tentang siswa ronin, kalau
dari siswa lainnya yang membuat saya sangat bahagia mengajar adalah semangat
mereka mencari ilmu, terlebih di kelas-kelas kecil seperti kelas SD. Kali ini saya
ingin membahas tentang “cita-cita”
Penekanan saya justru kepada
cita-cita mereka. Cita-cita diusia seperti ini masih sangat tinggi, masih hebat
tanpa sedikitpun keraguan, sambil berucap “saya mau jadi dokter kak”. Membalas ucapannya,
saya jawab dengan juga penuh kepastian “silakan sayang, jadilah dokter, dokter
yang beriman pada Allah ya!” sambil memberi penekanan pada kalimat terakhir
saya. Tak disangka, ucapan saya seakan angin segar dan kekuatan baru bagi
mereka. “iya kak” jawabnya dengan pasti.
“jadi dokter kak”
“jadi guru kak”
“jadi pengusaha kak”
Semua siswa menyebutkan
cita-citanya, meski ada satu siswa yang belum membuat cita-cita, dia sempat
malu karena ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi lagi-lagi saya mengingatkan “iya
nak, jadi apapun pilihan kalian, pasti baik, tambahkan cita-cita kalian dengan
beriman pada Allah ya!”
“iya kaaaaakkkk”. Jawab mereka kompak.
“jadi, apakah cita-cita
kalian????” tanya saya sekali lagi.
“jadi dokter yang beriman pada
Allah kak”.
“jadi guru yang beriman pada
Allah kak”.
“jadi pengusaha yang beriman pada
Allah kak”.
“belum tau kak, tapi yang jelas,
saya akan beriman pada Allah kaaak”.
Aaaaaahhh bahagianya melihat
azzam yang kuat dari mereka untuk jadi hamba-hamba yang beriman pada Allah. Mudahkan
ya Rabb J
*Kumpulan refleksi ngajar di
bulan Maret*
0 komentar:
Posting Komentar