Malam ini saya sungguh-sungguh sangat terharu, hingga akhirnya wujud dari haru saya adalah tulisan ini, yang saya beri judul, malam jodoh. Bukan, bukan karena malam inilah saya mendapat jodoh, bukan juga karena malam ini saya begitu galau memikirkan jodoh. Bukan itu, tapi ini hal lain.
Tiba-tiba saja ditengah obrolan, teman saya mengirimkan tulisan panjang ini.
Tentang jodoh, banyak yang sering menulis “memperbaiki diri untuk mendapatkan yang terbaik”. Sebab yakin bahwa yang baik hanya untuk yang baik pula. Sampai di sini—yang baik untuk yang baik, itu adalah aksioma atau sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, memperbaiki diri untuk yang terbaik itu agak mengganjal saya.
Saya yakin semua sudah tahu bahwa amal seseorang itu berdasarkan niatnya. Jika niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia mendapatkannya. Namun, jika hijrahnya karna seorang wanita, ia akan mendapatkannya, tapi tidak dengan Allah dan Rasul-Nya. Lalu, ketika memperbaiki diri yang dimaksud adalah untuk mendapatkan jodoh terbaik, menurut hemat saya, sangatlah kurang tepat, bahkan salah. Jauh lebih baik jika diniatkan untuk Allah semata, tak perlu ada embel embel yang lainnya. Sebab, yakin pasti kebutuhan atau keinginan kita akan mengekor setelahnya. Sebab Allah Maha Tahu semua tentang kita. Bukankah lebih baik kita mendapatkan keridhoan Allah, ketimbang dunia dan seisinya? Api neraka yang super panas sekalipun akan menjadi sejuk jika Allah ridho.
Apatah jodoh yang sangat mudah bagi Allah?
Well, ini untuk diri saya juga, bahwa meniatkan sesuatu itu hanya untuk Allah semata. Apalagi memperbaiki diri yang relevansinya jelas dalam bentuk ketaatan kepada-Nya. Aneh jika ternyata kita sangat taat kepada Allah hanya karna ingin mendapatkan sesuatu.
Dapatkan Allah, maka kita akan mendapatkan apapun yang kita mau dan butuhkan, maka akan Allah beri dan cukupkan. -MN-
Membaca tulisan ini, seakan membawa saya pada suatu masa ketika saya menjadi diri saya sendiri di dunia sosial media, entah karena kaget atau karena kecewa ada seorang saudari yang menasehati saya dengan kalimat, "nanti suami masa depan kamu cemburu". Intinya seperti itu. Saya yakin, bahwa niat saudari saya adalah baik, tapi saya justru melihatnya sebagai sebuah ajakan untuk menyekutukan Allah. Untuk menjadi baik bukan lagi karena Allah, tetapi karena agar mendapatkan yang baik, suami, yang belum pantas untuk saya imajinasikan sesuai dengan nasehatnya. Saya pun membalas nasehatnya dengan bilang "saya lebih senang dinasehati dengan kalimat 'Allah cemburu' dengan begitu membuat saya berpikir untuk melakukan yang terbaik dan menjadi baik karena Allah, karena saya adalah hamba Dia, bukan dia.
Begitupun dengan kebiasaan saya yang tidak suka dandan, pakai baju asal atau bisa dibilang gak rapi, orang terdekat saya selalu menasehati dengan "bajunya rapi dikit donk, gimana mau dapet suami". Aaahhh rasanya saya bosan dan jenuh dengan nasehat ini, bukankah lebih memotivasi dengan bilang "Allah suka keindahan loh, rapi yaaa bajunya". Saya bisa terima. Tapi, saya pun sadar bahwa kita tak bisa memesan "cara menasehati" dari setiap orang yang kita kenal, begitu pun kita pun tahu bahwa setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam menasehati. Apapun itu, nasehat tetaplah nasehat yang bertujuan untuk memperbaiki.
Tapi pernah, sampai saya berfikir bosan dituntut untuk menjadi sempurna agar mendapat yang sempurna juga. Begitulah, kadang iming-iming menjadi baik agar dapat yang baik itu palsu. Bukan saya tidak percaya akan janji Allah, tapi yang saya maksud palsu adalah motivasi menjadi baik kita bukan lagi karena Allah. Seperti yang dibahas diparagraf sebelumnya, amalan itu tergantung pada niatnya, maka niatkan menjadi baik karena Allah.
Setelah selesai perbincangan dengan teman saya tersebut, kemudian tiba-tiba ada yang BBM saya dan bilang "Allah sayang sama diles, sabar ya... jangan sampe jodoh orang kepinjem... :), Tapi beneran les... sabar ya... banyak rahasia Allah yang perlu kita tau saat waktunya tiba, ga perlu kita reka2" -KN- Saya haru baca ini, baiklah saya akui kalau saya adalah seorang wanita yang mudah haru (gak mau dibilang cengeng).
Kemudian diskusi via BBM dengannya pun berlanjut, bahwa menjadi mulialah tersebab kita sudah maupun belum menikah. Saya katakan padanya "Semakin hari aku semakin sadar bahwa tujuan hidup kita adalah ibadah, bukan menikah, jika Allah belum perkenankan kita untuk beribadah dengan pernikahan, maka cari jalan ibadah lain". Ini bukan hanya sekedar kalimat penghibur bagi diri saya yang belum menikah, wallahi, ini pun bukan kalimat putus asa, tapi ini adalah kalimat kesadaran bahwa Allah menciptakan kita memang hanya untuk beribadah, dengan menyesuaikan pada takdirNya. Tak ada alasan untuk tak jadi taat meskipun belum menikah, dan tak boleh merasa keIslaman telah paripurna hanya karena sudah menikah.
Pada akhirnya kamipun sepakat merevisi prinsip jodoh, kini semestinya Prinsip jodoh itu:
Berikanlah yang terbaik untuk Allah maka Allah akan berikan yang terbaik untukmu.
Cintai Allah sungguh sungguh (QS. 3:31)
Maka Allah akan kirimkan orang yang mencintaimu karna Allah. -MN-
Lebih bermakna yah, mengajak kita merevisi segala niat untuk berbuat baik hanya dan untuk Allah. Akhirnya, perbincangan pun diakhiri dengan kalimat cinta "uhibbuki fillah".
Kemudian setelah itu, tiba-tiba lagi, saudari saya yang lain chat dan bilang "cariin aku suami les". Hahahaha, malam ini sungguh malam jodoh, malam di mana bukan kegalauan saja, tapi malam penuh ilmu dalam menyempurnakan makna jodoh.
Teriring doa dari segala perbincangan malam ini, semoga Allah istiqomahkan kita untuk mencintaiNya melebihi cinta kita pada makhlukNya.
Shodaqollahuladzim.
@diles_delta
0 komentar:
Posting Komentar