Namanya Faris. Seorang aktivis muda di sebuah
organisasi Islam. Sosoknya amat terkenal. Lahir untuk dikagumi dan diharapkan,
khususnya oleh banyak wanita. Cerdas, sholeh, tinggi dan tegap. So pasti juga
tampan. Anak dari seorang pejabat yang mapan. Lengkap sudah keunggulannya. Para
akhwat menjulukinya sebagai “Mushab bin Umair Abad Milenium”. Ya, ia begitu
sempurna di mata seorang wanita. Nyaris tanpa cela. Dapat menjadi istrinya,
adalah permintaan utama mereka dalam setiap munajat yang dipanjatkan sehabis
sholat. Bahkan ada yang bertekad tak akan menikah jika tidak dengannya.
Dahsyat!! Semangat baja ini dirumuskan dalam sebuah prinsip gila: sebelum
bendera kuning berkibar, pantang putus dalam berharap. Paduan mesra antara
kegigihan, kesungguhan dan kedunguan. Edan!!!
Namun ada yang ganjil. Di usianya yang sudah
masuk kepala tiga, ternyata Faris belum juga punya pendamping hidup. Kabarnya,
sudah beberapa kali ia ta’aruf tetapi selalu gagal. Isu miring pun muncul.
Entah dia yang memang punya standar tinggi dalam menentukan jodoh atau adanya
kelainan seksual yang dia miliki. Na’udzubillah!. Setan selalu menghembuskan
pikiran buruk kepada kita jika harapan dan keinginan tak kesampaian.
Hingga akhirnya gegerlah jagad akhwat saat itu.
Begitu terdengar sang pangeran sudah memiliki permaisuri, sirna sudah semua
harapan. Bukan karena status Faris yang telah berubah menjadi suami orang lain,
yang bikin nafas mereka sesak. Tapi pilihan hatinya yang membuat mereka ’sakit
hati’. Unpredictable. Ya, Faris memutuskan menikahi seorang wanita janda
beranak dua. Enam tahun lebih tua usianya. Meskipun wanita tersebut cukup manis
namun kulitnya agak kusam dan gelap. Bahkan bobot tubuhnya serupa dengan model
iklan pelangsing yang gagal. Tak ada sesuatu yang istimewa darinya. Tak
sebanding jika harus bersanding dengan Faris, sang pangeran. Itu sebab, banyak
pihak yang kasak kusuk mencari alasan Faris menikahi ’ibu’ tersebut. Tingkah
mereka bak paparazzi yang telah dilatih intelijen. Liar. Licin. Tajam. Dan
menerabas malu.
**
”Sejak awal saya memang tidak berniat mencari istri. Saya hanya butuh seorang ibu.”
Inilah jawaban tegas Faris kepada setiap orang yang mencoba mengkonfirmasi ihwal pernikahan ’anehnya’. Dan dia tahu, bahwa jawaban tersebut tidak logis dan menggantung. Masih segudang tanda tanya yang menggunung. Bercampur rasa bingung. Maka Faris mulai memaparkan alasannya lebih dalam. Runut. Tajam.
”Sejak awal saya memang tidak berniat mencari istri. Saya hanya butuh seorang ibu.”
Inilah jawaban tegas Faris kepada setiap orang yang mencoba mengkonfirmasi ihwal pernikahan ’anehnya’. Dan dia tahu, bahwa jawaban tersebut tidak logis dan menggantung. Masih segudang tanda tanya yang menggunung. Bercampur rasa bingung. Maka Faris mulai memaparkan alasannya lebih dalam. Runut. Tajam.
”Dari dulu, saya meniatkan pernikahan saya
bukan untuk sekedar kebutuhan pribadi saya semata. Tapi dapat berarti untuk
masa depan dunia. Artinya, saya berharap penuh agar pernikahan saya dapat
menjadi simbol peletakan batu pertama bagi bangunan peradaban dunia. Dimana
akan lahir sosok pahlawan yang berasal langsung dari benih saya...”
Sampai sini, Faris terhenti kata-katanya. Ia seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikan pesan berikutnya.
Sampai sini, Faris terhenti kata-katanya. Ia seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikan pesan berikutnya.
”dan untuk mewujudkan hal tersebut, saya
membutuhkan sosok ibu yang tepat untuk anak saya nanti. Ia bertugas
mempersiapkan generasi setelah saya agar tumbuh menjadi pahlawan di masanya.
Seandainya istri yang saya cari, maka saya sepertinya terlalu egois. Hanya
berorientasi pada kebutuhan saya. Namun jika ibu yang saya nikahi, maka saya
merasa telah memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak saya nanti dan tentu
saja dunia setelah ini...”
Emosinya mulai meningkat. Intonasinya semakin
cepat. Untuk kemudian dalam beberapa saat ia menghela napas, dan mencoba
melanjutkan lagi.
”pasangan hidup saya saat ini adalah seorang
ibu yang sudah lama saya amati. Kepiawaiannya mengasuh dua anaknya, menarik
hasrat jiwa saya. Saya kerap menyaksikan saat kedua anaknya yang masih belia
bekerja membantu sang ibu setiap harinya dengan rasa riang sambil bersenandung
qur’an. Anak-anak itu juga nampak ramah dan supel terhadap orang lain di
sekitarnya. Subhanallah!! Karakter itu tak mungkin muncul jika tidak dibina
oleh sosok ibu yang berkualitas. Saya mencintai sang ’ibu’ lewat perilaku yang
ditunjukkan anak-anaknya. Maka tak ada alasan bagi saya untuk tidak memintanya
menjadi ibu bagi anak saya nanti...”
**
Kalimat-kalimat itu sungguh amat dalam. Terkesan utopia. Tapi menusuk jiwa. Menghentak. Mentertawakan pikiran-pikiran kerdil yang menganggap sang ’ibu’ tak layak untuk dinikahi oleh pemuda pujaan. Justru Faris memberi pemahaman baru tentang hakekat sebuah pernikahan.
Pernikahan baginya bukan sekedar ”kontrak” antara dua insan untuk setia memenuhi hasrat masing-masing. Tapi jauh dari itu. Pernikahan merupakan ikrar bersama dari sebuah misi panjang guna mewujudkan generasi hebat di masa datang. Dan ’koalisi’ yang harus dibangun melalui lembaga pernikahan seharusnya bukan lagi sekedar antara suami dengan istri melainkan antara ayah dengan ibu.
**
Kalimat-kalimat itu sungguh amat dalam. Terkesan utopia. Tapi menusuk jiwa. Menghentak. Mentertawakan pikiran-pikiran kerdil yang menganggap sang ’ibu’ tak layak untuk dinikahi oleh pemuda pujaan. Justru Faris memberi pemahaman baru tentang hakekat sebuah pernikahan.
Pernikahan baginya bukan sekedar ”kontrak” antara dua insan untuk setia memenuhi hasrat masing-masing. Tapi jauh dari itu. Pernikahan merupakan ikrar bersama dari sebuah misi panjang guna mewujudkan generasi hebat di masa datang. Dan ’koalisi’ yang harus dibangun melalui lembaga pernikahan seharusnya bukan lagi sekedar antara suami dengan istri melainkan antara ayah dengan ibu.
Itu artinya, pilihan Faris memilih ’ibu’
sebagai partnernya bukan karena faktor kejandaan yang melekat pada diri wanita
tersebut. Bukan pula karena usianya yang melampaui usia Faris. Ataupun jumlah
anak yang dimilikinya. Tetapi lebih karena, kemampuan dari wanita itu untuk
mewujudkan misi panjang hingga ke masa depan melalui sebuah peran vital yang
tak tergantikan : Ibu. Ya, Ibu. Sebuah kata yang dilekatkan kepada sosok wanita
yang memiliki kesungguhan dalam mendidik, kesiapan untuk berkorban, dan
ketekunan dalam mengurai doa yang tak pernah putus untuk generasi mendatang.
Dan ’ibu’ ini mungkin saja ada di dalam diri seorang gadis belia yang masih
belasan tahun.
Pada dasarnya, ’ibu’ tidak hanya dibutuhkan
oleh anak. Seorang ’ibu’, juga dibutuhkan sang suami. Seorang suami sering kali
(harus) menjadi ’anak’ di saat-saat tertentu sebagai bagian dinamisasi jiwanya
yang sering nampak garang di luar. Saat pulang ke rumah, jiwa garangnya perlu
diiistirahatkan. Menjelma menjadi sosok anak manja yang bergairah. Dan hanya
’ibu’lah yang dapat memenuhi kebutuhan ’anak’ ini, bukan istri. Sekali lagi,
sosok ’ibu’ pada diri wanitalah yang menjadi alasan kuat kenapa kita
menikahinya.
Perlu diingat, bahwa pernikahan pada dasarnya
ibarat sekolah yang dibangun untuk pahlawan masa depan. Ada misi di dalamnya.
Sekali lagi : misi !!!. Bukan sekedar birahi. Dan akan lebih adil serta
berimbang jika misi ini diwujudkan tidak hanya oleh seorang ibu. Harus ada
’ayah’. Ayah didaulat menjadi pemimpin pernikahan (baca : rumah tangga) guna
menggerakkan misi tersebut menjadi nyata. Ibu dan ayah inilah yang membuat
sebuah pernikahan ataupun rumah tangga menjadi berdaya.
Dan Faris mengajari kita langkah pertama guna
mewujudkan hal itu. Yakni tepat dalam mencari pasangan. Ketika Faris mencari
seorang ’ibu’ untuk dinikahi, itu tandanya ia pun menawarkan dirinya bukan lagi
sebagai suami bagi pasangannya melainkan sebagai ayah untuk anak dari sang
’ibu’. Misi ketemu misi. Saling melengkapi.
Maka, kelak Faris pun akan mudah berkata, saat
nanti anaknya bertanya, ”apa hadiah terbesar yang ayah telah berikan kepadaku?”
Cukuplah ia menjawab, ”Menikah dengan wanita
yang dapat menjadi ibumu!!!”
***
ajo bendri jaisyurrahman
***
ajo bendri jaisyurrahman
0 komentar:
Posting Komentar