Kisah mengajar petang kemarin.
Slah satu siswi kelas 5 menjadi perhatian serius bagi saya, karena diusia yang sekitar 10 tahun, gayanya masih seperti anak-anak. Bukan hanya gaya, cara bicaranya pun seperti anak-anak. Balita maksud saya. Saat dia bicara, sangat saya tegaskan agar bisa bicara dengan jelas; "Maaf ya, kakak ga paham kalau bicara kamu seperti itu, kamu bisa bicara yang jelas kan?"
Berulang kali, dengan sedikit dzon mungkin anak ini dibiarkan bicara seperti balita di rumah. Kesoktahuan saya yang benar-benar berlebihan.
Petang kemarin, adalah kali ketiga saya mengajar di kelasnya. Kelas yang hanya berjumlah 3 anak. Seperti biasa, siswi yang saya maksud di atas tetap menjadi perhatian utama, niat saya betul-betul agar dia bisa bicara lebih baik. Pembahasan kemarin bertema 'Menjadi Anak yang Bersyukur' kemudian saya memberi contoh nikmat-nikmat yang Allah beri, semisal nikmat melihat, nikmat menghirup udara, nikmat mendengar, dan lain-lain. Memberi contoh juga dengan saudara-saudara yang Allah uji karena tidak mendapat nikmat tersebut dengan sempurna. Tiba-tiba siswi lainnya bilang "kaya dia kak, pakai alat bantu dengar."
Deg, jadi selama ini dia pakai alat bantu dengar, pantas setiap belajar dia selalu berdiri ingin dekat dengan saya, alasannya cuma satu dan baru dia bilang kemarin saat dia mengulangi untuk berdiri dekat saya. "Saya kurang dengar kak".
Saya mulai bertanya-tanya langsung pada siswi tersebut. Bahwa ternyata dia sudah mengenakannya sejak kelas 1 SD, dan sebelum itu dia sama sekali tidak mendengar. Yang saya tahu, kemampuan bicara erat kaitannya dengan pendengaran, mungkin dia baru lancar berbicara sekitar usia tersebut, antara sebelum atau sesudah mengenakan alat bantu. Wajar jika diusianya masih belum tertata rapi.
Sesal, kenapa saya baru tahu dan tak memahaminya dari awal. Meski bersyukur telah mengetahui keadaannya dipertemuan ketiga ini. Kini, saat dia mulai berbicara yang seperti biasa kurang dipahami, saya membenarkan dengan rasa yang berbeda. Dan pembelajaran pun berlanjut. Pertanyaan terakhir dari saya untuk semua anak sebagai kata penutup pembelajaran hari ini.
"Nikmat Allah yang mana yang paling kamu syukuri?"
Yang lain menjawab standar, sedang dia, siswi tersebut bilang "nikmat ketika saya masih mau bersyukur".
Serasa ditampar, serasa dinasehati oleh dia. Bukankah masih mau bersyukur adalah nikmat yang berlapis-lapis? Terima kasih sayang, dan maaf, selama ini telah berpandangan buruk terhadapmu. Terima kasih telah melipat-lipatkan kesyukuran terhadap kami. Semoga Allah mencintaimu dengan nikmat yang tumpang tindih.
-Aldiles Delta Asmara- Sebab mengajar adalah belajar
0 komentar:
Posting Komentar