Saya pahaaaamm sekali rasa bahagianya ketika wanita menguji kehamilan dan hasilnya garis 2. Apalagi untuk anak pertama. Ada perasaan meledak-meledak yang rasanya beribu 'wah'. Bertumpuk-tumpuk rasa bahagianya, melebihi ketika ada rombongan keluarga lelaki yang datang hendak melamar, melebihi rasa haru saat ada lelaki yang berkata "saya terima nikahnya" yang ditujukan untuk kita. Perasaan haru, bahagia, syukur, dan takut berkumpul menjadi lapis rasa yang makin lama makin besar.
Tiba-tiba saja ada dorongan kuat dari dalam diri yang meloncat langsung mungkin tanpa kita sadari untuk menyebar kebahagiaan yang kita rasakan.
Tapi, ada bahagia yang tidak mesti diumumkan. Seperti halnya ketika dilamar, kita teramat bahagia. Namun Rosulullah menganjurkan untuk merahasiakan pinangan. Entah apa maksudnya, percayalah ada hikmah
Sedangkan untuk walimah, Rosulullah malah berkata "umumkan pernikahan". Judulnya sama, berbahagia, tapi perlakuannya beda. Itulah indahnya Islam dalam menjaga hati, pribadi maupun saudari.
Lalu kalau untuk berbahagia karena kehamilan, layak atau tidak untuk disebarkan bahkan langsung dengan poto hasil uji kehamilan?
Hanya Allah Yang Tahu, hanya Allah yang Tahu urusan hati hambanya. Tak berani saya menilai itu bagian dari 'pamer' dsb nya. Hanya saja saya teringat beberapa saudari yang berbagi kesedihan tentang sulitnya mereka merasakan kebahagiaan yang satu itu, diujung obrolan selalu terselip "saya ga pernah berani untuk datang menjenguk saudari-saudari yang baru saja melahirkan, maka mohon maaf jika suatu hari kamu melahirkan, saya gak bisa jenguk".
Mungkin akan berpikir bahwa saudari tersebut sangat tega, gak bisa ikut serta dalam bahagianya kita, gak bisa mengontrol hati biar ikut berbahagia, dan cap buruk lainnya, atau menilai sikapnya salah melakukan pilihan tersebut. Jangan ya, jangan sampai terpikir seperti itu, sebab kita tidak pernah tahu apa saja yang sudah terlewati olehnya hingga sampai kini belum juga merasakan bahagianya mendapat tanda garis dua pada uji kehamilan.
Yang perlu diatur hatinya adalah hati kita yang berbahagia. Kita tahu ada yang tak sebahagia kita, maka semestinya ada rem dalam diri untuk menjaga perasaan saudari-saudari kita (meski mungkin mereka sangat tidak meminta untuk dipahami).
Kita sudah berbahagia, maka apa susahnya untuk juga membuat orang lain berbahagia, dengan 'rem' atau 'kontrol diri' kita. Dengan sikap memahami kita. Karena memang, PR memahami tak akan pernah kunjung usai bagi diri yang memiliki hati.
Sebab kebahagiaan tetap utuh, dengan disebarkan atau tidak disebarkan pada yang lainnya.
Semoga kamu paham
-Aldiles Delta Asmara-
Terima kasih ya Allah telah mengutus seorang suami yang menjadi 'rem' bagi diri ini.
*tulisan 23Agustus2016
0 komentar:
Posting Komentar