Muhasabah (menuju) Pernikahan Setahun

Pernikahan Setahun...

Kapan deru-deru resah ingin menikah hadir dalam hidupmu??
Usia 20??25??

Bagi saya sudah ada sejak saya tahu hukum berpacaran, yaitu kelas 3 SMP. #plak
Muda banget untuk seorang anak kelas 3 SMP berprinsip "gue ga bakal pacaran, gue mau nikah aja, mau nikah aja, mau nikah aja".

Mulailah pustaka bahasa dan ilmu saya dibanjiri dengan buku 'Nikmatnya Pacaran setelah Pernikahan" dan buku-buku lainnya yang entah sengaja atau tidak, disiapkan oleh kakak saya.

Bayangan saya saat itu "gue mau nikah muda, mau nikah muda ya Allah".

Hingga tahun-tahun terlewati. Masa sekolah sukses dijalani. Hidup baru menjadi mahasiswi. Mulailah rasa 'ingin menikah' lebih bergejolak, lagu-lagu pernikahan makin asyik diperdengarkan dan didendangkan hingga menciptakan galau yang sempurna.

Setahun, dua tahun sejak saya menyatakan siap menikah di depan keluarga saya, dibantu ajoBendri dalam searching jodohnya. Galau semakin melanda. Ternyata proses menujunya tak semudah bayangan indah yang ada di buku-buku yang telah habis dibaca.
Galau bertambah ketika Dila lebih dulu mengikrar janji sucinya. Tinggallah resah, hampa, gundah dan rasa yang lainnya.

Setahun, dua tahun dalam jarak pernikahan Dila, belum juga berbuah walimah. Masih terus meminta, masih terus mencari, masih terus menjaga diri. Yang berbeda hanya, galau tak lagi ditampakkan di depan saudari saudara. Semakin paham bahwa kode dan sandi galau yang sering dimunculkan akan menambah kelemahan dan keresahan. Galau tak hilang, iffah dan izzah yang malah memudar.

Perubahan cara pandang pun berbuah manis di akhir tahun 2015 ketika datang seorang pelamar yang sukses meluluhlantakkan hati keluarga. Undangan disebar, akad diucapkan, walimah digelar di awal tahun 2016.

Pujapuji kepada Allah atas segala qabul dan kabulnya doa ini.

Ternyata, satu tahun menjelang, galau tak hilang. Bukan karena tak bahagia, hanya selalu saja terselip galau setiap waktunya. Meski beda wujud galaunya. Tentang sidia atau tentang lainnya. 3 bulan tak berkabar hamil, galau. 9 bulan penuh warnawarni, galau.

Hingga tersadarkan mendengar kalimat seorang teman "Kamu nikah aja galau, apalagi aku yang belum nikah."

Robbi, ternyata galau bukan karena menikah belum menikah, hamil belum hamil, punya anak belum punya anak, tapi galau terjadi karena hilangnya rasa syukur kami. Hilangnya sabar kami. Mohon ampuni.

Kesadaran itu membuahkan hasil, bahwa syukurlah penghilang kegalauan, keresahan, dan segala kesedihan. Saat galau akan hinggap dalam hidup rumah tangga kami, tentang suami yang begini, tentang takdir yang begitu, tentang segala bisik-bisik  yang setan hembustiupkan, sekejap hadir bayangan 'dulu pernikahan inilah yang kau impikan' dan syukurpun hadir, galaupun pergi, bisik-bisikpun berganti dengan "Robbi, terima kasih atas pernikahan ini". Masyaa Allah.

Saat lelah dan lidah seakan kompak ingin mengucap keluh di 9 bulan ini, syukur pulalah yang menghadirkan senyum penghilang galau dan sedih.

Dan syukur pula yang akan terus dihadirkan saat ada masa ketika anak GTM, nangis keras, mengacau isi rumah, jam tidur yang semakin terbang jauh. Ah, semoga bisa.

Allah selalu Maha Benar, bahwa hamba-hamba yang selalu mengingatNya akan Allah jadikan hatinya tentram. Hilang galau, hilang resah, hilang gelisah, apapun gores takdirmu.

Maka, mari mengingat Allah dengan syukur disertai sabar. Agar tangguh dari kegalauan, apapun bentuk catatan hidupmu.

Kau tangguh tanpa galau, duhai Umma!!

-Aldiles Delta Asmara-
catatan SyahiDiles

Surga Layak untukmu, Ibu

Ibu, kemarin ku baca-baca kisah Maryam Sang perawan suci yang Allah berikan bayi dengan akhlak rupawan Menurut kisahnya, Maryam begitu berpayah dalam lelah Mendekati putus asa, menyerah dalam segala upaya
Lalu tiba-tiba aku ingat cerita engkau saat mengandungku Engkau memang belum seistimewa Maryam Kisahmu pun tak banyak diperdengarkan orang awam
Tapi aku tahu.. Sakitmu tiap waktu dalam 9 bulan Pastilah persis seperti yang dialami oleh Maryam Kadang tegar pada karunia Tuhan Kadang pernah, meski sedikit, berputus asa sebab ujiannya dalam setiap malam Ah, pantas saja surga layak untuk kau dapatkan
Ibu, kemarin ku baca-baca kisah Bunda Hajar Yang tegar dalam membesarkan bayi merah Di padang kering tanpa harapan hidup mewah Berlari bolakbalik dari Safa menuju Marwah Marwah menuju Safa Begitu seterusnya hingga 7 kali hitungan Berlelah, berpayah, berupaya karena satu tujuan Bayi merah dalam pangkuan menangis karena kehausan Hingga ikhtiarnya Allah karuniakan air dalam hentak-hentak kaki mungil bayi rupawan Keluarlah air yang tiada henti tercurah untuk mereka Zam-zam
Kemudian saja aku teringat kisahmu dalam membesarkanku yang penuh perjuangan Memang tak seheroik Hajar dalam bolakbalik Safa dan Marwah Tapi bayi kehausan dalam dekapanmu membuat lecet yang tak kecil pada tempat menyusu sang bayi yang kehausan Namun kau tak henti menyusuiku hingga 2 tahun silam Meski gigi tumbuh sebagai tanda bahwa akan ada lecet yang lebih dalam Kau pun melanjutkan kisahmu dalam perjuangan memenuhi giziku, mencerdaskan akalku, membiasakan kebaikan bagi akhlakku. Yang ku tahu, tak semudah kedipan mata dalam memandang. Ah ibu, pantas saja surga layak untuk kau dapatkan.
24 jam dalam 7 hari kisahmu sebagai ibu Adakah terselip bahagia di sana? Nyatanya aku sering mendapatkan kau menangis panjang mengadu pada Tuhan Meski kau selalu berkata, bahwa menangis karena bahagia telah memiliku. Padahal bisa saja karena aku yang selalu menguji kesabaranmu. Sabar dan syukur bedanya memang setipis sajadahmu Namun kisah sabar dan syukurmu dalam mengasuhku, telah berurai panjang seperti air matamu sejak awal mengandung hingga aku besar Ah ibu, pantas saja surga layak untuk kau dapatkan.
Atas perih dan segala sakit karena mengandungku Atas pedih dan lelah dalam membesarkanku Atas segala tangis sabar dan syukur dalam memperbaiki akhlakku
Adalah surga, yang tak pernah luput ku sebut agar Allah hadiahkan untukmu. Ibu.
Sebab hanya surga yang sebanding untuk membayar segala perjuanganmu.
-Aldiles Delta Asmara

Ayo Sini Main Sama Aku

"Gampang banget tau Dil bikin anak anteng gak rewel, gak ganggu umminya"
Saya: "masa? gimana caranya??"
"kasih aja hape"
-_-
"Iya bener Dil, tapi gue gak akan melakukan itu. Sesekali bolehlah, asal jangan seharian pegang hape."
****
Bener juga ya, beberapa kali menemukan anak-anak yang anteng banget -bahkan mendekati ga peduli sekitar- saat dia pegang hape. Mau anak ada reaksinya?? Copot aja hape dari genggamannya, dijamin dia bakal teriak-teriak ngamuk seolah keadaannya jauuuhhh beda saat dia pegang hp. Mau anak gak 'ganggu' kita?? kasih aja hape, maka dijamin kita senang dia amat senang. Sayangnya senang yang sementara :(

Sedih sih, anak anteng tapi 'pergi jauh' dari dunianya, anak anteng tapi 'ngamuk ganas' saat berhadapan dengan kita. Apalagi jika keinginan untuk pegang hape tidak terpenuhi.
Haruskah bermusuhan dengan hape? mungkin iya, mungkin juga tidak, asal dengan batas dan tak membuat anak terlena.

Ya Allah, adakah cara agar anak-anak kami hatinya terikat pada kami bukan pada hape?

Ada, ternyata ada. Hanya saja mari jawab pertanyaan "maukah luangkan waktu tinggalkan hape kita untuk bercengkerama, bermain, berkisah dengan anak kita??"
"Maukah berlelah sedikit dan banyak untuk menjadi alat peraga permainan mereka? Entah menjadi perahu, kuda, dan atau lainnya"
"Maukah mengeluarkan beberapa rupiah untuk membeli barang-barang penunjang kecerdasan mereka? Tak mesti yang mahal."

Karena mungkin saja anak terikat dengan hape karena merasa diabaikan oleh orang tuanya yang sibuk dengan hape -entah apapun alasanya-. Maka ikat hati mereka dengan mulai menjauhi hape dari tangan kita. Agar mudah ia dinasehati, agar mudah ia berakhlak terpuji.

Jangan pernah mengabaikan kalimat permintaan sederhana dari anak "ayah/ibu, ayo sini main sama aku." Justru semestinya berbahagialah, sebab itu berarti masih ada kita di hati mereka.

Teringat ucapan seorang mbak yang bilang "lebih baik berlelah-lelah saat mereka kecil untuk melatih kecerdasan, akhlak dan kesholehan anak kita dibanding saat mereka kecil kita maunya santai dengan menuruti semua keinginan mereka, apalagi untuk pegang hape, tapi saat mereka besar kita justru lelah mendapati segala keburukan mereka. Sebab pengasuhan adalah hutang." (ini ucapan mba Nita istri AjoBendri beberapa tahun yang lalu saat cerita tentang pengasuhan di rumahnya).

Jadi??? Mari belajar lagi wahai (calon) orang tua.
Tak apa ya Umma, saat suatu hari nanti kegiatanmu hanya "nyuci nyapu ngepel nyusui dan ngajarin" ia yang sepertinya harus berulang-ulang dan terlihat membosankan, sebab itu lebih baik dibanding rumah rapi tapi hape dalam genggamnya seharian.

Tak apa ya Umma, saat ia lebih banyak menangis untuk menyatakan keinginannya, semoga tak menyerah dengan memberinya jalan pintas berupa hape dalam genggamnya.

Tak apa ya Umma, untuk belajar lebih cerdik lagi agar menarik dihadapannya saat ia mulai GTM, jangan menyerah dengan memberinya hape sebagai syarat ia harus makan.

Tak apa ya Umma, saat buku-buku harganya sedikit mahal untuk membuatnya candu membaca daripada ia candu terhadap hape.

Tak apa ya Umma, saat sendok, garpu, tutup panci, bahkan kulkas menjadi alat eksplorasinya daripada ia hanya menggerak-gerakkan jari pada hapenya.

Tak apa ya Umma, semoga sabar dengan segalanya, sabar dengan tanpa teriakan "SABAR DONG ADEK, UMMA LAGI MAKAN"

Tak apa ya Umma, semoga syukur dengan mengingat bahwa dulu ia berupa garis dua pada alat tes yang membuat kita berlonjak kegirangan bahkan bahagia menantinya.

Tak apa yaaa..
Kan ada Allah

Pada Allah kita titipkan segala keluh kesah. Semoga berbuah Jannah.

-Hasil obrolan pengasuhan dengan Dila-
Aldiles Delta Asmara (hanya seorang Umma)

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger