Kebaikan untuk Kebaikan

(Ar-Raĥmān):60 - Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).

Cukuplah ayat ini memotivasi untuk terus berbuat dan melakukan kebaikan. Bukan karena mengharap balasan dan pada akhirnya menuduh diri tidak ikhlas. Tapi justru sebagai sebuah keyakinan bahwa Allah Maha Perhatian. Tak akan luput bahkan secuil kebaikan pun dari pandanganNya.

Maka, masihkah ada keraguan?

Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikan atas peduli yang kita tanam, atas kepekaan yang terus menerus kita upayakan, dan atas sapa bantuan tanpa keraguan. Sebab kemampuan manusia membalas kebaikan amat terbatas, sedangkan Allah Maha Luas dalam memberikan kebaikan. Cukuplah Allah menjadi sebaik-baik tempat meminta pembalasan.

Kemudian Allah melanjutkan titah syukurNya..
(Ar-Raĥmān):61 - Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

-Aldiles Delta Asmara-

Diberi Judul: Adab

Malam ini saya berkali-kali dibuat takjub oleh celoteh Rafa saat melihat Ummanya 'repot'.
"Ummi, abang bobonya nanti ya, abang mau bantu umma"
"Abang mau bantu umma".

Terharu? Yes!

Meski kita semua tahu bahwa kata 'bantu' bagi anak berumur 2,5 tahun berarti 'memainkan apa yang dikerjakan' oleh orang dewasa di sekitarnya. Tapi toh ketulusan dan tatap yakin saat ia mengucapkan patut dihargai. Dan saya ingin mengaitkan hal ini dengan adab.

Ini tentang adab, lebih tepatnya adab dalam bersosial. Bahwa dalam hidup bersama dengan orang lain, bermasyarakat, berjama'ah atau apalah istilahnya. Patut rasanya mengasah nurani saat melihat orang lain kesulitan dengan sedikit pernyataan "mari saya bantu" dan atau pertanyaan "perlu bantuan?". Untuk apa? Agar silaturrahim tak kering, agar sapa tak dingin, agar nurani tak berubah jadi kusut masai. Bergeraklah, meski hanya dengan sekadar tanya. Pedulilah, meski dalam rupa sapa. Sebab, kita hidup tak sendiri. Sebab dunia kita luas, tak sesempit tikungan rumah. Maka, apa jadinya jika adab ini hilang?
Bukan sekadar basabasi kan?
Pedih jika mendapati dalam satu organisasi, dalam satu kantor, dalam satu rumah ada bagian yang perlu dibantu tapi di sisi lain ada bagian yang enggan membantu.

Ah Aldiles, jangan seperti itu ya.

-Aldiles Delta Asmara-
Nulis itu nabok diri sendiri


Ayah dan Pengasuhan

Bismillahirrohmanirrohim..

Resume pertemuan pekanan SAHAJA, 16 Januari 2016

Harmonisasi Pasutri -dalam pembahasan Islamic Parenting-

Oleh: Ust Bendri Jaisyurrahman

Notulis: Aldiles Delta Asmara

Peran Ayah bagi pengasuhan

('Āli `Imrān):33 - Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga 'Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing).

Allah telah memilih keluarga Ibrahim dan keluarga Imron sebagai contoh dalam mencari pasangan terbaik guna mendidik generasi yang sholeh.

Ada 3 jenjang dalam memulai pengasuhan bagi orang tua:

1. Membereskan masalah pribadi
Takkan bisa orang tua memberi bunga untuk anak jika dalam diri orang tua masih ada sampah.
Salah satu kesalahan yang sering terjadi dalam pengasuhan adalah ketika orang tua memberikan pemakluman tentang kesalahan pengasuhan yang diterimanya dulu hingga ia meneruskan pada anaknya. Maka langkah terbaik agar tidak terjadi kesalahan yang sama adalah dengan mengakui apa yang salah terkait pengasuhan yang diterimanya agar menyadari bahwa hal tersebut tak patut untuk ia ulang pada anaknya. Semoga setelah mengakui, ada upaya untuk memperbaiki.

2. Harmonisasi dan akur dengan pasangan.
Setelah menerima dan mengakui kekurangan pengasuhan yang didapat pada masa lalu, selanjutnya adalah membicarakan pada pasangan. Agar pasangan bersedia membantu untuk memperbaiki dan menyiapkan hati untuk memahami. Kenali juga dengan pengasuhan yang diterima oleh pasangan pada masa lalu. Kemudian berkomitmenlah untuk terus saling memperbaiki.

3. Program untuk anak
Sulit untuk buat program bagi anak kalau jenjang satu dan dua belum dituntaskan. Maka tuntaskan dulu jenjang satu dan dua pada pasangan.

Keterlibatan ayah dalam pengasuhan haruslah dominan. Ia berupa aspek fisik maupun aspek psikis. Ayah harus hadir dalam kedua aspek ini. Jika ayah dihadapkan dengan kondisi yang sulit terlibat pengasuhan secara fisik, maka upayakan ayah harus terlibat dalam pengasuhan secara psikis. Bagai Ibrahim yang berjauhan dengan anaknya tetapi ia selalu hadir dalam jiwa anak-anaknya. Al-qur'an menggunakan kata 'yaa abati' sebagai panggilan untuk ayah, bukan sekadar 'yaa abi' sebab abati adalah sebutan kedekatan untuk ayah yang berada dalam jarak jauh dan atau kata abati bisa bermakna kerinduan pada ayah, meski berbicara dalam jarak dekat. Diucapkan oleh Yusuf kepada ayahnya, Yaqub, menandakan bahwa Yusuf merindukan dan selalu ingin berdekatan dengan ayahnya meski ia dan ayahnya dalam jarak dekat.

Pada pembahasan ini berarti bahwa ayah yang benar-benar menjalankan tugas pengasuhannya adalah ia yang dirindukan oleh anak baik ketika berjarak jauh maupun dekat. Sebab ayah yang hanya dirindukan ketika jauh bisa jadi bukan karena rindu terhadap jiwa ayah, tetapi rindu terhadap isi dompet ayah. Maka jadilah ayah yang selalu dirindukan, baik dalam keadaan dekat maupun jauh. Begitu yang dijelaskan oleh al-qur'an.

(At-Taĥrīm):6 - Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;....

Yang ditegur Allah dalam ayat ini untuk menjaga keluarga dari api neraka adalah laki-laki, inilah makna nasab.

Bahwa di akhirat nanti, semua manusia akan ditanya tentang ayahnya. Dan pertanyaan ini akan mempengaruhi posisi ayah di akhirat. Jika yang diucapkan oleh anak adalah kesuksesan ayahnya dalam mengasuh, maka ayah akan ke surga. Jika yang diucapkan oleh anak adalah keburukan-keburukan ayah, maka ayah akan terseret ke neraka. Maka sejak kini, berhati-hatilah dalam mengasuh. Sebab pengasuhan adalah penentuan bagi masa depan di akhirat.

* Ayah harus memiliki visi pengasuhan bagi anak-anaknya. Telah dicontohkan oleh nabi Ibrahim dalam Q.S Ibrahim: 35-37
Visi-visi Ibrahim adalah sebagai berikut:

1. Aqidah
('Ibrāhīm):35 - Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.

Tugas ayah adalah mengenalkan pada anak siapa Tuhannya, dan menjauhkan serta mengantisipasi virus-virus thogut pada anak. Sebab ayah akan dimintai pertanggungjawaban apa saja yang ia berikan pada anak, apakah pemberiannya membuat anak berakidah lurus, ataukah fasilitas yang diberikan oleh ayah justru membuat aqidah anak berbelok. Maka untuk ayah, berhati-hatilah terhadap pemberian fasilitas bagi anak.

2. Pembiasaan ibadah
('Ibrāhīm):37 - Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,...

Ayahlah yang berkewajiban pertama kali untuk memperkenalkan ibadah pada anak, serta menjadikan anak-anak terbiasa dengan ibadah. Ayah bisa memulai dengan memilih tempat tinggal dekat dengan masjid.

3. Visi ketiga yang dicontohkan oleh Ibrahim adalah yang berkaitan dengan akhlak sang anak, yang akan menjadikan anak disukai oleh masyarakat.
('Ibrāhīm):37 - ...., maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Visi ketiga ini juga disampaikan oleh Lukman kepada anaknya.

4.(Ibrahim): 37"...dan berikanlah rizki dari buah buahan'. Ini menandakan mereka harus belajar mengelola hasil bumi yakni tanam tanaman

Sedangkan visi keluarga Imrom dijelaskan pada ayat berikut:
('Āli `Imrān):35 - (Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Visi ini disampaikan oleh istri Imron yang dijelaskan dalam al-qur'an , Hana binti Fakhudz, hanya ada satu target, yaitu ingin anaknya menjadi hamba Allah yang taat, hamba yang shalih, berbeda dengan visi yang disampaikan Ibrahim. Hal ini sebagai pertanda bahwa ayah harus lebih terencana dan detail visinya dibandingkan ibu. Ayah dan ibu memiliki peran masing-masing dalam pengasuhan, yaitu:
a. Ayah sebagai penegak aturan
b. Ibu memberikan rasa nyaman

Permasalahan yang sering terjadi pada keluarga masa kini dimulai dari kesalahan dalam menjalankan peran pengasuhan. Ibu yang terlalu banyak memberikan aturan, sedangkan ayah selalu menjadi tempat anak untuk 'lari' dari aturan yang dibuat oleh ibu. Maka kembalikan peran pengasuhan ini agar permasalahan-permasalahan dalam keluarga terselesaikan.

Ayah harus memiliki visi pengasuhan bagi anaknya, jangan sampai ayah berprinsip 'seperti air mengalir' bagi pengasuhan anak-anaknya. Visi yang baik adalah yang diawali oleh  Ittaqullah dan juga diakhiri oleh wattaqullah.
Agar pengasuhan berjalan sempurna, awal dan akhir dilandaskan karena Allah.
(Al-Ĥashr):18 - Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Semoga Allah membimbing para ayah dalam membuat visi pengasuhan.

Bersambung, insyaa Allah..

Bermanfaatkah?

#catatanharianseorangGuru

Sedikit sentilan, sedikit nasehat dari seorang murid ketika akan memulai pembelajaran hari ini.

"Belajar apa kak hari ini?" Tanyanya.

"BIP, materi keIslaman". Jawab saya, pada siswa yang belum lama bergabung dengan kami.

"Oh, bermanfaat gak?" Tanyanya kembali.

Saat pertanyaan terakhir, muka saya langsung pucat pasi, seolah berhadapan dengan tanya yang butuh jawaban dengan segudang teori.

Astaghfirullah, bermanfaatkah yang selama ini saya berikan pada mereka? Bermanfaatkah pada tiap-tiap amanah yang dititipkan pada diri ini?
Entah, saya merasa dia benar-benar memberikan pertanyaan yang menghujam, menusuk ke relung, tepat ke ulu nurani.

Bermanfaatkah hidupmu? Duhai diri...

Robb, mohon ampuni..

-Aldiles Delta Asmara-

Masih Ragu?

(An-Najm):55 - Maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu-ragu?

Maka terhadap ketetapan Allah yang mana yang kau selipi keraguan?
Kegagalan
Kekecewaan
Penantian
Kebahagiaan
Keberlimpahan
Perjumpaan

Maka terhadap nikmat, adakah kening bersimpuh dalam syukur tak berkeluh?

Adakah teguh dalam keyakinan yang utuh bahwa Allah selalu menyiapkan indah yang tak hingga? Sebagai peneduh, sebagai penyambung, sebagai penyimpul tali-tali kokoh.

Mohon ampuni lalainya syukur kami yang tak terhitung.

Aldiles Delta Asmara
Jumat, 15 hari.


4 Tahun Perbedaan

Bismillahirrohmanirrohim..

Malam ini mari kita bertemankan dengan seteguk mesin waktu yang memutar kenangan pada 4 tahun silam. Sambil memandangi Rafa yang telah lebih dulu terlelap di samping umma.

Malam menuju 13 Januari 2012.

Malam itu, bukan hanya kau yang tidak bisa tidur, aku pun iya. Menanti bergantinya waktu yang juga berperan sebagai pergantian status. Dari anak menjadi istri. Itu bagimu, bagiku malam ini adalah pergantian status, dari bersama menjadi sendiri, dari menjaga menjadi melepas, dari memiliki penuh menjadi hanya kenangan yang utuh. Tak bahagiakah aku dengan pernikahanmu? Hei, aku tak sejahat itu, kalau kau bisa melihat hatiku, aku adalah orang yang paling pertama berbahagia atasmu, sebab artinya tugasku menjagamu telah usai, sebab tak ada yang paling membahagiakan selain melihatmu bahagia. Tapi dibalik itu, aku pula orang yang paling pertama kehilangan dengan pernikahanmu :(

Kau tahu apa yang paling membuatku bersedih hari itu? Bukan, bukan karena perbandingan antara Aldila dengan Aldiles akan segera dimulai, toh sejak dulu orang-orang memang selalu membandingkan antara aku dan kamu kan? Aldiles yang cerewet Aldila yang kalem, Aldiles yang ketus Aldila yang santun, Aldiles yang tak pernah senyum Aldila yang selalu senyum, Aldiles yang pemalas Aldila yang rajin, Aldiles yang biasa aja Aldila yang cantik, -bahkan kini bertambah Aldiles yang gendut Aldila yang kurus- dan perbandingan-perbandingan lainnya. Nyatanya bukan itu, sebab perbandingan antara takdir kita sudah biasa bagiku, dan akupun bukan orang yang menuntut takdir harus selalu beriringan sejalan antara si kembar. Lalu karena apa?

Maafkan, kau tahu? Bagaimana sulitnya bertarung melawan dua rasa yang berlawanan? Antara bahagia dengan sedih yang mendalam, mana yang harus ku ekspresikan pada hari itu? Duhai saudariku yang telah bersama sejak rahim, maafkan jika saat itu aku memenangkan kesedihan untuk menemani hari bahagiamu. Dua malam-bahkan lebih- aku tak tidur menerima kenyataan bahwa 'kau pergi, sungguh kau akan pergi'. Kenyataan bahwa kau akan meninggalkanku yang membuat sedih bertumpuk-tumpuk. Hingga ia menjelma menjadi ucap ketus, tatap tak acuh, dan senyum palsu. Kau membaca, aku tahu kau membaca. Sebab memang sejak dari dulu hanya kau yang pandai membaca 'pesan' ku.

Maafkan, sungguh maafkan. Aku merenggut kebahagiaanmu dengan tak senyumnya mama pada hari itu tersebab sedih memikirkanku. Maafkan, sungguh maafkan, dihari pertama pernikahanmu kau dihadapkan dengan sebuah tanya "sebenarnya keluargamu setuju kamu nikah denganku gak sih?"

Terima kasih atas kesabaranmu melewati masa berat itu, terima kasih atas pengertianmu mendampingi aku yang malah sebagai ujian awal bagi pernikahanmu. Terima kasih atas pemahaman bahwa ini adalah cinta, saat yang lain menatap dengan tatapan yang tak pernah mereka mengerti, iya, hanya kita yang mengerti perasaan ini, dan kau melewatinya dengan nilai yang begitu sempurna. Hingga aku kembali memelukmu, hingga Allah kembali lembutkan aku tuk menerimamu. Jalan yang panjang bukan? Dan itu mungkin tak akan berhasil jika bukan karena perjuanganmu bersabar terhadapku. Ssssttt, betapa suamimu beruntung memilikimu yang telah teruji kesabarannya.

Segala puji atas tarbiyah Allah yang mengiringi kisah kita, meneguhkan keyakinanku bahwa "meski engkau pergi, namun Allah takkan pernah pergi". Dan keteguhan serta keyakinan itu membuatku kembali memilikimu. Seiring waktu berjalan, kau buktikan padaku bahwa kau tak pernah meninggalkanku, meski tak bertemu raga. Nyatanya kau temani aku dengan jiwa, dengan rasa, dan dengan berlinpahnya doa untuk kebaikan-kebaikanku. Bahkan kadang tanpa kata, kau hadir lewat perwujudan raga menjelma dihadapanku, di Jakarta, seperti saat ini. Itukan bukti cintamu?

Kau bertanya "4 tahun itu waktu yang sebentar atau lama buat kamu, Diles?"
Cukup lama, bagiku cukup lama untuk mencuri ilmu dari pernikahanmu yang 4 tahun itu. Terima kasih ya, atas ilmu yang tidak sengaja aku curi dari 4 tahun pernikahanmu. Banyak sekali, hingga mungkin kau tak tahu bahwa begitu banyak yang telah aku curi secara diam-diam darimu. Ketangguhanmu melewati dua kali kelahiran tanpa pendampingan suami, kesabaranmu mengasuh, terampilnya membereskan rumah, kreatifnya membuat makanan untuk suami dan anak, pandai menjaga amanah keuangan suami, lihai mengatur cemburu, marah, dan lainnya. Semua ku curi. Hingga aku berpikir bahwa inilah hikmah baik sangka pada tiap takdir Allah yang sejak awal pernikahanmu susah payah untuk ku bangun. Alhamdulillah.

Dan kini, aku terpesona dengan takdirNya. Allah kirimkan kau untukku, untuk membersamaiku, menyertaiku, menguatkanku, menopang rapuhku, di hari 4 tahun pernikahanmu, dengan ditemani dua malaikat penghilang sedih yang bertumpuk. Tak ada ucap yang layak berderet-berderet untuk ku katakan padamu, selain Barokallahu laka wabaroka 'alaika wajama'a bainakuma fii khoiir. Semoga Allah memberi barokah padamu dan semoga Allah memberi barokah atasmu, dan semoga Ia menghimpun kalian berdua dalam kebaikan.

Kini mari kita tertawa mengenang 4 tahun lalu dengan ucapanmu "tenang Diles, aku gak bakal cemberutin kamu disaat hari pernikahanmu kok" :)



-Aldiles Delta Asmara-
Dalam detik-detik

N.I.K....... M.A.T

Ada nikmat disela waktu yang semestinya berakhir untuk aktifitas, tapi terpaksa beraktifitas lagi karena dua batita di rumah belum lelah meski malam sudah hampir habis untuk menjelajah.

Ada nikmat dijeda berdiri, berlari, menggendong dan beralih menjadi berbaring, namun didapati ada penjajahan 'hak milik' tempat tidur oleh dua batita.

Ada nikmat ditiap putaran pagi menuju siang, siang menuju petang, dan petang berubah malam saat memandangi gemericik tangis, gemuruh tawa, gelombang rengek, guyuran manja dari dua batita.

Ada nikmat dihembusan gamang kala waktu menunjukkan harus bekerja namun terdramakan kata "umma ga boleh kerja" dan tangisan tak ingin lepas dari dua batita.

Ada nikmat disisipi oleh Allah lewat tak ingin lepasnya raga kecil dari pelukan lunglai sang umma.

Ada nikmat dikala sajak rindu tersingkirkan dengan ungkap bahagia "abang mau makan apa? Umma masakin yah?"

Ada nikmat, ya Allah ini nikmat, ini nikmat. Dan bolehkah jika nikmat ini terus ada?

22:54 saat Rafa dan Raisya mengakhiri petualangannya.

-Aldiles Delta Asmara-
Dari seorang umma yang menikmati tiap lapis nikmat

Jilbabmu

Ruang tunggu puskesmas.

Tivi di sini menayangkan acara gosip nasional, ada yang menarik untuk ditonton, bukan, bukan tentang perceraian para artis atau skandal hina lainnya. Melainkan tentang kembalinya juara ajang dangdut ke sekolah untuk pertama kali semenjak ikut ajang tersebut. Apa yang menarik?
Pakaiannya saat bersekolah. Cantik, rapi, tertutup, santun, sholiha sekali, sangat kontras dengan dangdut :(
Ah ya Allah, semoga kebaikannya dan kesholihannya saat bersekolah mampu menarik dirinya untuk juga mensholihkan diri ketika di luar sekolah.

Dan yang menarik berikutnya adalah, penyambutan yang dilakukan oleh pihak sekolah. Dihormati, dipuja, dibanggakan, seolah mereka mengangkat derajat sekolah dan juga para guru.
Wahai 'orang tua' bagi akhlak dan kepribadian para siswa di sekolah, yang bukan hanya mengenalkan deret angka dan aksara, tapi terlebih soal rasa malu pada Robb kita, tidakkah justru merasa gagal karena mengantarkan siswi untuk membuka auratnya dan terlihat seluruh penonton *apalagi ini ajang dangdut seasia*

Sungguh, mata saya basah. Entah mengapa saya sebagai pendidik -meski bukan yang mendidiknya- yang justru merasa sedih, malu, ingin menangis melihat ia dengan jilbab rapi, panjang , dan tertutup berdiri di podium saat upacara dan di lain tempat ia membuka auratnya.

Bukankah semestinya kita mengenalkan malu pada siswa kita? :(
Ah ya Robb, ampuni jiwa yang berprasangka ini :(

Adik manis, semoga setelah ini hidayah Allah membawamu 'pulang' berhijrah dalam kebaikan, yang kau mulakan dengan patuhnya diri terhadap perintah Allah menutup aurat.

Semoga setelahnya, kau mau berlelah-lelah untuk akhirat, bukan lagi untuk dunia yang sekejap ini.

Semoga setelahnya, panggilan jiwa kebaikan yang kau tanam di sekolah mampu menyuburkan berjuta-juta kebaikan yang mewujud taat dalam kehidupan luar sekolah yang lebih panjang.

Semoga...

Dan semoga tulisan ini bukan bagian dari ghibah.

Ya Robb, mohon bimbing kami menyelamatkan generasi.

-Aldiles Delta Asmara-

Ujian

Saat aktifitas rutin pagi hari, hari ini, -lari mengitari masa lalu dan masa depan- tak sengaja lewat depan 2 anak laki-laki yang sedang main ayunan. Yang unik adalah yang mereka bicarakan, saya mendengar selintas sambil merenungi ucapannya.

"Kita diuji Allah dulu, kan selalu begitu. Sebelum Allah kasih musim hujan, Allah kasih kita ujian lewat kemarau, rumput pada kering, air susah,..."

Gak denger kelanjutan pembicaraannya, karena mencurigakan banget kalo tiba-tiba ngikut naik ayunan dan nimbrung obrolan, hehe.

Intinya, ah iya, kita memang akan mendapatkan ujian agar kemudian Allah kasih kebahagiaan. Selalu begitu kan?
Dicontohkan para nabi dan sahabat.
Maka, maukah kau mengambil hikmah??

Berlalu meninggalkan mereka sambil melantunkan doa "ya Allah jadikan mereka sholih hingga kematiannya".

-Aldiles Delta Asmara-

Awal Kebaikan -2016-

1 Januari 2016

Meninggalkan 2015 dengan keharuan, kebahagian, tawa, duka, aaah semoga bukan dengan menumpuknya dosa. Jika iya? Mohon ampuni Robb.

2015 dengan serbaserbi, penuh mimpi, berkecamuk tanpa ilusi, prestasi? Duhai, apa yang telah kau persembahkan untuk ad-Din?
Mari evaluasi!

***
Dulu diawal tahun 2015, punya target untuk selalu menulis, minimal 10 tulisan tiap bulannya mampir di blog senyumdonkdiles.blogspot.com

Mengapa menargetkan menulis? Karena menulis adalah terapi bagi jiwa yang berkelana mencari makna. Menulis adalah sapa halus untuk perintah membaca, sebab sebelum menulis harus diawali dengan membaca. Menulis adalah pengasah nurani dalam lingkup memahami jiwa, dengannya ia bisa merevisi makian menjadi untaian, kerinduan menjadi harapan, dan kesedihan menjadi lompatan kebangkitan. Menulis adalah dorongan tak langsung untuk berbisik pada Allah, dengan setelahnya menuangkan pada aksara. Maka blog hadir sebagai 'rumah' bagi segala mimpi dan upaya. Menulis adalah perebut takhta kebathilan dunia, dengannya ia bisa meluruskan, menunjukkan, mengenalkan, dan menjaga diri dari bathilnya jiwa.

Menulis?
Ah, entah dengan apa harus ku ukir bahagia jika bukan melewati aksara.

Suatu hari:
"Ih nulis kok curhat mulu, nulis tuh yang manfaat kek". Kata seorang teman saat melihat hobi ini.

Tak apa kawan, jika kau tak suka, aku tak pernah memintamu membaca seluruhnya hingga kau bisa menilai bahwa semua tulisan adalah curahan.

Lainnya:
"Hah, ini beneran tulisan kamu? Kok beda sama aslinya? Aslinya cerewet, bawel, gak bisa diem, kok tulisannya 'kalem' dan 'lembut'". Kata teman yang lain.

Itulah sebabnya kawan, aku tak pernah ingin ada yang tertipu dengan tulisanku, sebab bisa jadi jiwa yang nyata ini masih butuh nasehat, jiwa yang nyata ini tak sebaik tulisannya(begitukan maksudmu?). Jiwa yang nyata ini masih bertumpuk-tumpuk dosa, dan semoga kebaikan-kebaikan yang ada dalam tulisan mampu menghapusnya.
Tak apa ya? Setidaknya masih ada sisi kebaikan dari diri ini.

Semoga Allah masih mampukan tahun 2016 ini untuk tetap menulis, lebih baik dari tahun sebelumnya. Semoga kepekaan jiwa semakin terasah, sebab tulisan rajin mengasahnya. Semoga keshalihan makin menebal, bukan menipis, sebab tulisan yang jadi penasehatnya, iya, menulis adalah menasehati diri sendiri.

Apa yang paling diharapkan dari sebuah tulisan?
BerkahNya dan ridhoNya, meski mungkin salah dalam pencatutan sumber, meski mungkin hilang nama dalam tersebarnya, tak apa, semoga tak hilang berkahNya.

***

Nah sekarang tentang impian dan doa yang lain. Suatu hari di 2015 pernah ada yang bertanya "Diles, kapan target menikah?"
"Tahun ini, insyaa Allah". Jawab dengan keoptimisan.

Iya, selalu optimis tiap tahunnya, bahwa akan menggenapkan agama ditahun ini, tahun berapapun saat orang bertanya.

Makaaaa, meski 2015 kemarin nyatanya belum tergenapkan, tak apa, optimislah untuk 2016. Semoga 2016 adalah tahun pertemuan :)


Begitupun untuk teman-teman yang lain yaaaa, optimislah untuk sebuah kebaikan, apalagi yang tercatat sebagai janji Allah.

*Ini kenapa jadi ngomongin nikah? :D

***
Impian berikutnya, membawa mama melangkah menuju baitullah. 2015 belum terwujud, semoga Allah mudahkan ditahun 2016. Melangkah bersama, meski tak setangguh Uwais yang menggendong ibundanya menuju rumah Allah. Aamiin ya Rob..

***

Intinya?
Iya, semoga membaik, baik tulisan, lisan, keshalihan, ketaatan, impian, perbuatan, serta keikhlasan, harus lebih baik dari tahun sebelumnya.

Semoga Allah mudahkan lirih-lirih doa selama ini.
Aamiin, insyaa Allah.

Eh iya, setelah Januari akan selalu ada Februari kan? (jika Allah ridho)

-Aldiles Delta Asmara-


Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger