Membiarkan hidup berjalan sesuai rencanaNya, adakah bentuk kepasrahan? Bentuk keteguhan? Ataukah bentuk kemalasan?
Dan diakhir Mei ini, deret tanya itu menghiasi malam-malam kelelahan, lelah dalam pengharapan? *ups*
Semoga bukan kelelahan dalam berharap padaMu, duhai Ilahi..
Aku akan tetap berharap padaMu, meminta kepadaMu, mengais manja dalam sujudku untukMu, meski mungkin akan tampak tak berikhtiar. Tapi ya Allah, inilah ikhtiarku, dalam berharap padaMu.
Ada kebaikan kebaikan yg tampak, ada keburukan keburukan yang tampak, jika begitu, mana yg kita pilih sebagai jawaban dr Allah?
Dan keyakinan menjawab bahwa biarkan hidup berjalan dengan takdirNya.
Jika memang bukan ia yang tercatat, maka izinkan hati tetap merapat, dalam cinta dan dalam taat. PadaMu.
-Aldiles Delta Asmara-
Aku menyukai warna kuning, entah sejak kapan aku menyukainya, yang aku ingat, kebiasaanku mengumpulkan barang-barang berwarna kuning sudah ku lakukan sejak SMP. Apapun itu, hingga kini. Hampir semua barang adalah warna kuning, dinding kamar, tas, Alat komunikasi, botol minum, tempat makan, jam, pulpen, buku, dan lain-lain, bahkan 3 dari 4 kamar di rumah juga berwarna kuning ^^v
Jika ditanya mengapa suka warna kuning, ah entahlah. Kadang rasa suka itu tidak memiliki alasan. Begitulah, kuning sudah menjadi prioritas pilihan dalam barang-barang yang aku miliki. Apapun, yang berwarna kuning, akan selalu menggoda untuk dimiliki. Tapi tidak untuk bendera.
Ya, di antara barang-barang yang berwarna kuning, bendera kuning adalah yang paling tidak ku sukai. Ia memang menjadi sebuah nasehat akan kematian, tapi ia nya juga menjadi pengingat sebuah perpisahan, bagi diriku. 9 tahun silam, Juli 2006.
Bendera dengan warna kuning tertuju pada rumahku, dengan tertulis di dalamnya nama seseorang yang paling ku cinta, yang menjadikanku wanita, yang sepenuh hati dalam menjaga. Aku yang dalam usia 16 tahun saat itu sudah sangat mengerti artinya berpisah. Memahami bahwa, ini kehendak Allah, ada cinta untuknya hingga Ia mengambilnya. Aku menahan air mataku sedemikian rupa agar tak banjir di suasana duka, aku tak mau -bukan karena malu- melihat ia perlahan mengenakan pakaian akhirnya seketika itu pula melihat rona kehilangan yang teramat pada wajah keibuan mama.
Tak ingin membuatnya lebih lemah, karena perpisahan ini sudah menjadikannya lemah, meski hanya sesaat..
Dan kemudian rumah dipenuhi oleh warga yang beriringan berdatangan untuk sejenak menatap tubuh kaku berbungkus kain putih ini, kemudian menepuk pundak salah satu di antara kami dan membisikan sesuatu. "Sabar ya" hanya itu.
Sejak saat itu, aku mengenal arti sabar, bukan karena banyaknya kata sabar yang ku terima hari itu, tetapi aku mengenal sabar karena dikenalkan oleh mama yang berjuang membesarkan 4 anak. Hingga sabar kemudian tak terdefinisi, ia telah menyelinap bergabung dan tumbuh dalam keseharian mama. Tiada keluh meski mungkin berkeluh. Katanya "biar hanya Allah yang tahu". Tiada marah meski terseret berdarah-darah. Katanya "Allah pasti akan membalas segala kebaikan".
Tiada berduka meski sesekali terkenang tentang suka. Katanya "dulu ayah selalu begini dan begitu".
Cerita yang tiada pernah habis, wujud bukti cinta seorang wanita terhadap lelakinya. Yang selalu bangga dalam kalimat aksaranya, seolah memiliki ayah kami adalah karunia terindah bagi mama.
Begitulah, saya terlalu percaya bahwa tiap zaman akan selalu melahirkan kisah cinta yang indah melebihi kisah picisan yang disanjung dan puja bak Romeo dan Juliet. Ini kisah cinta yang sesuai syariat Allah, cinta yang semoga diiringi ridhoNya, cinta yang tumbuh dengan diawali mitsaqon golidzo sepasang manusia.
Jika Khadijah, Allah pasangkan bagi Muhammad Rosulullah, Siti Raham bagi buya Hamka, Ainun bagi Habibie, dan kini mama adalah pasangan yang paripurna bagi ayah, pun sebaliknya.
Dan kematian yang ditandai dengan bendera berwarna kuning selalu memberikan hikmah -meski diawali dengan kesedihan-, bahwa kematian bukan perpisahan, bahwa kematian bukan sebuah tanda lahirnya kesengsaraan, sama sekali bukan. Karena dari kematian kita belajar, bahwa yang menjamin kehidupan bukanlah darinya, ia yang Allah panggil terlebih dulu, tapi kehidupan kita sepenuhnya adalah jaminan Allah. Hanya pada Allah.
Hingga kini, kesedihan yang bermetamorfosa menjadi sebuah keyakinan itu selalu muncul ketika melihat bendera kuning yang terhempas pelan tertiup angin di sepanjang jalan yang terlewati. Keyakinan bahwa Allah tak akan pernah menelantarkan kita, kita yang masih Allah beri nafas sampai kini. Kita yang masih bisa merasakan indahnya warna warni. Dan yakin itu, semoga akan terus tertanam, meski sulit, meski sedihnya berhari-hari.
Untuk kamu, yang baru saja ditinggalkan.
Percayalah, Allah tak pernah meninggalkanmu dengan meninggalnya ia.
Percayalah, bahwa Allah memberimu satu lagi kesempatan untuk merasakan warna-warni takdirNya.
Percayalah, Allah sudah mengaturnya. Baik kita suka maupun tak suka, dengan segala warnaNya.
-Aldiles Delta Asmara-
Tulisan ini judulnya "Suka ga ngerti"
Suka ga ngerti sama remaja-remaja yang ngambek cuma gara2 postingannya di instagram ga di'like'
Suka ga ngerti sama orang-orang yang harus banget ya kalo difollow maka wajib memfollow?? Jargonnya "follback kakaaa"
Suka ga ngerti sama orang dewasa yang gaya fotonya masih kaya remaja yang bibir dimacem-macemin, mata disipitbelo'in, rambut yang digembel-gembelin. Biar dibilang apah?
Suka ga ngerti sama pasangan yang suka ngeskrinsut percakapan mesra dengan pasangannya yang meski halal, bukan iri sik, tapi bukannya itu rahasia yak? Hehe *siap-siap ditimpuk sama yg pada udah nikah*
Suka ga ngerti sama orang-orang yang ga sabar banget menanti lampu merah yang padahal cummmmma beberapa detik
Suka ga ngerti sama orang yang dalam beberapa menit gonta-ganti DP yang entah apa maksudnya
Suka ga ngerti sama cewe-cewe yang suka pamer auratnya, apa sih yang didapat dari pamer itu?
Suka ga ngerti sama cewe-cewe yang menikmati banget diPHPin, padahal tegas lebih enak loh, sumpeeeh
Suka ga ngerti sama yang dalam masa penantian tapi hidup dalam kode-kodean yang menyatakan diri belum dimiliki. Situ promosi?
Suka ga ngerti sama orang-orang yang kudu harus wajib banget dipanggil dengan panggilan kehormatan. Apa malah tak berakibat rusaknya hati karena kesombongan?
Suka ga ngerti sama orang-orang yang sukaaaaa banget membenci, padahal benci bikin hidup ga nyaman, gelisah, tak tenang dan kerugian lainnya. Terus mengapa masih membenci? *plak, nampar pipi sendiri*
Suka ga ngerti sama diri sendiri yang suka ga ngerti dengan apa yang dilakukan oleh orang lain, padahal jargonnya "pahami mereka" hehe.. intinya sih itu.
Ada hal-hal yang tidak kita tahu dari orang lain, dan juga ada suatu hal yang tidak perlu untuk kita mengerti, karena hidupmu tidak beredar luas seluas lingkaran bumi yang diisi oleh makhluk Allah yang penuh warna-warni. Apa yang bisa dinasehati maka nasehati, apa yang tidak perlu dipikirkan, maka tidak usah dipikirkan. Bukan meminta untuk tidak peduli, hanya saja hiduplah dalam keharmonisan dalam bersosial, karena itu yang Rosulullah wariskan, bukan malah hidup dalam ketidakmengertian yang malah berakibat meninggalkan.
Jangan ya, jika mereka kau tinggalkan, maka sesungguhnya kau yang merugi, wahai diri.
-Aldiles Delta Asmara-
Tidak memaki, tidak mendoakan keburukan, tidak membenci.
Ya Allah, aku tiada daya, maka semestinya aku berusaha.
Berusaha untuk menegarkan kembali diriku yang tergores rindu dalam bentang jarak Jakarta-Samarinda.
Waktu subuh menjadi saksi, bahwa sesering ini kita berpisah, sesering itu pula aku berusaha menegarkan dan meneguhkan kembali keyakinan pada Allah bahwa tiap perpisahan pasti akan berujung pada pertemuan. Semudah itu, karena Jakarta dan Samarinda sama-sama dalam genggamanMu. Semudah dalam kata yang semoga mudah pula dalam nyata.
Engkau sebaik-baik pengatur perpisahan dan pertemuan, mohon berikan kami iman untuk mempercayai. Bahwa takdirMu teramat indah untuk kami syukuri, meski tiada bersama dalam raga.
-Aldiles Delta Asmara-
Riuh,,
Dalam gemuruh anak-anak manusia yang berikhtiar untuk takdir rahasia..
Akan sebuah masa yang berharap cerah, secerah pagi yang menemani detak waktu tiap hari dalam kebaikan prasangka tiap diri.
Dan kemarau membisikan pengharapannya, bahwa terik semoga tak meluruhkan gelora semangat menjadi tetes keringat yang melunturkan asa.
Kemarau yang mencoba menjalankan titah Robbnya untuk senantiasa teguh berdiri menyelesaikan tugas dalam ketaatannya.
Seperti kamu, yang tetap setia mengiba penuh mesra dalam malam sepertiga, hingga pagi menggeserkan pekat, lantang dalam tatap memandangi terik seolah membisikan teguh keyakinan, bahwa doa mestinya setia bersama usaha, pun sebaliknya.
Maka seperti mentari, adakah sinarnya memberi cahaya pada alam tempat penghapus peluh? ataukah ia nya tempat manusia memuntahkan caci berteriak penuh benci, aku tak menyukai pagi.
Ah semoga itu bukan kamu, wahai diri...
-Aldiles Delta Asmara-