”Sejak awal saya memang tidak berniat mencari istri. Saya hanya butuh seorang ibu.”
Inilah jawaban tegas Faris kepada setiap orang yang mencoba mengkonfirmasi ihwal pernikahan ’anehnya’. Dan dia tahu, bahwa jawaban tersebut tidak logis dan menggantung. Masih segudang tanda tanya yang menggunung. Bercampur rasa bingung. Maka Faris mulai memaparkan alasannya lebih dalam. Runut. Tajam.
Sampai sini, Faris terhenti kata-katanya. Ia seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikan pesan berikutnya.
**
Kalimat-kalimat itu sungguh amat dalam. Terkesan utopia. Tapi menusuk jiwa. Menghentak. Mentertawakan pikiran-pikiran kerdil yang menganggap sang ’ibu’ tak layak untuk dinikahi oleh pemuda pujaan. Justru Faris memberi pemahaman baru tentang hakekat sebuah pernikahan.
Pernikahan baginya bukan sekedar ”kontrak” antara dua insan untuk setia memenuhi hasrat masing-masing. Tapi jauh dari itu. Pernikahan merupakan ikrar bersama dari sebuah misi panjang guna mewujudkan generasi hebat di masa datang. Dan ’koalisi’ yang harus dibangun melalui lembaga pernikahan seharusnya bukan lagi sekedar antara suami dengan istri melainkan antara ayah dengan ibu.
***
ajo bendri jaisyurrahman
Ini calon adikmu J
“Akhirnya ku menemukanmu,
Senandung biru itu tiba-tiba menjadi akrab di telinga Indra. Bukan hanya di telinga. Tapi sudah menjalar bersama aliran darah di tubuhnya. Saraf korteksnya pun laksana jaring laba-laba yang menjerat dan mengikat syair lagu tersebut. Hingga tak boleh “bunyi-bunyi’ itu beranjak dari pikiran Indra. Ia menemani Indra saat di atas kereta, saat di jalan raya, saat mengendarai motor honda, saat meniti tangga, di ruang membaca, hingga saat sedang asyik bercengkerama dengan sohibnya. Dan semakin terasa kuat menggema ketika Indra sedang sendirian di kamarnya yang hanya berisi seonggok kasur dan sepotong kaca. Aneh. Tak disangka.
Padahal, “pertemuan” dirinya dengan lagu tersebut hanyalah sepintas. Tak diniatkan. Kala itu ia sedang berteduh di teras sebuah toko kaset. Suasana hujan lebat. Langit berkilat-kilat. Pemilik toko, entah sengaja atau tidak, menyetel lagu tersebut. Menemani tubuh Indra yang basah. Syahdu. Rinai hujan yang berdentum ke tanah, seolah menjadi harmoni yang senada dengan nada-nada lagu itu. Tanpa sadar, irama tubuh Indra turut terbawa alunan lagu yang cukup mellow tersebut. Alam bawah sadar Indra menerjemahkan suasana saat itu laksana gelora jiwa yang dahaga menemukan mata air nirwana. Sungguh melankolik. Hingga hujan berhenti, lagu tersebut masih mengalun kesekian kalinya. Berulang-ulang. Indra menikmati. Tak bosan.
Berangkat dari teras toko itu, ketika hujan tak lagi mengguyur, Indra masih terbuai. Meski baru mendengar lagu itu untuk kali pertamanya, ia merasa lagu itu seperti sedang menyuarakan suara hatinya. Atau lebih tepatnya, AKAN menyuarakan hatinya. Kelak. Ia akhirnya akan menemukan...ah...entah siapa. Ia ingin hatinya segera berlabuh. Ya, Indra memang sedang kasmaran. Tapi tak tahu dengan siapa.
Tapi...Astaghfirullah...Indra tersadar dari lamunan. Lamunan yang menggetarkan naluri syahwatnya. Ah...Indra malu. Betul-betul malu. Dalam beberapa hari ini, pikirannya seperti kacau. Di dalam kamarnya yang sempit Indra merenungkan kembali ide-ide pernikahannya. Hari sudah beranjak malam.
Indra mempertanyakan, entah kenapa, pikirannya selalu tertuju pada momentum pernikahan. Ia begitu berhasrat melaksanakan sunnah nabi tersebut. Terlebih begitu mendengar taujih dari Ustadz Mabrur, yang dikenal pakar pernikahan, untuk segera melakukan pernikahan di usia muda. Ia pun banyak melahap buku-buku tentang motivasi pernikahan dini. Jadilah, imajinasinya dalam beberapa bulan terakhir ini mengarah kepada upaya nikah..nikah...dan nikah. Tanpa ia sadari, segenap aktivitasnya saat ini semua bermuara kepada satu hal : segera menikah. Kuliah dikebut agar segera lulus. Setelah lulus, cari fulus. Kemudian persiapan nikah serius. Bahkan saat ini pun, ia sudah merintis bisnis kecil-kecilan sebagai persiapan jikalau sewaktu-waktu ada akhwat yang kecantol di hatinya. Demikian Indra sudah merencanakan semuanya.
Namun, ia tak dapat memungkiri. Hatinya resah. Bayangan pernikahan selalu membuat hatinya gundah. Antara harap dan cemas jadi tak terpisah. Ia menjadi tak berdaya dan seperti dipenjara dengan pernikahan yang diidam-idamkannya. Tanpa terasa, matanya berkaca-kaca. Ia merasa malu. Hina. Terlebih begitu menyadari, seluruh potensinya kini serasa menjadi hilang dan lenyap demi urusan nikah. Di saat teman-teman pengajiannya, sibuk membicarakan program dakwah, perluasan teritori dakwah hingga perekrutan kader baru, justru ia asyik dengan alam pikiran dan kesibukannya dalam urusan nikah. Urusan dakwah terabaikan. Ia berapologi, saatnya nanti toh dakwah masih bisa dilakukan, bahkan lebih dahsyat lagi, jika ia telah menikah. Benarkah? Ia sendiri ragu akan hal itu. Jangan-jangan justeru ia makin terbuai dan meninggalkan amal-amal dakwah yang semestinya dia lakukan. Arghhh....
Dialog hebat dalam batinnya tersebut perlahan-lahan surut akibat rasa kantuk yang menyergap. Malam menyelimuti tubuhnya yang kecapaian. Terlebih suasana hujan sepanjang hari yang menjadikan kelopak mata enggan terbuka dan ingin selalu menguncup. Indra pulas. Benar-benar pulas.
Dalam mimpinya, ia merasa seperti berada di sebuah ruangan dalam rumah sakit. Nampak jelas di hadapannya seorang lelaki berkulit putih, memakai kacamata minus, dan di tangan kanannya terdapat infus. Laki-laki itu tengah berada dalam perawatan, meski kondisinya nampak segar dan bugar. Indra mengamati jelas lelaki itu.Rasanya ia mengenal akrab sosok lelaki yang terbaring di atas dipan berkasur putih tersebut. Ia mencoba meyakinkan sekali lagi. Yap...betul!! Ia tidak lagi ragu. Lelaki itu adalah dirinya. Indra sedang mengamati dirinya yang sedang di rawat di sebuah rumah sakit. Takjub.
Dalam situasi tersebut, Indra merasa dirinya seakan-akan penonton yang hanya mampu menyaksikan pementasan adegan yang nampak di depannya. Lelaki yang ada di hadapannya, yang tak lain adalah dirinya, terlihat selalu murung dan gelisah. Sesekali menyaksikan pintu masuk ruangan yang terletak di pojok kanan tempat ia berbaring. Ia seperti mengharap kehadiran seseorang. Entah siapa. Matanya tak pernah lepas dari pintu yang berwarna putih terang tersebut.
Tak berapa lama, sesosok wanita berseragam hijau muda menyembul di balik pintu sambil membawa sesuatu. Kontan lelaki itu segera bertanya, “Sudah masuk jam makan siang ya suster?”.
Wanita itu yang ternyata seorang suster membalasnya dengan tersenyum tipis, untuk kemudian menjawab ringan, sambil merapikan tempat tidur lelaki tersebut. “Sabar ya mas, jam makan siang masih lama. Sekarang masih pagi. Coba cari kesibukan dulu deh biar gak gelisah. Kalau kita sibuk, menunggu datangnya jam makan siang jadi tak terasa lho. Tahu-tahu datang deh waktunya. Udah gak sabar ya, Mas Indra?”.
Indra terkaget. Namanya disebut dengan jelas oleh suster itu. Dan itu membuat dirinya tersentak dari tidur pulasnya. Kelopak matanya mengembang cepat, untuk kemudian segera menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya adalah sebuah mimpi. Ya. Mimpi yang aneh. Penuh tanya. Ia betul-betul menyaksikan dirinya lemah di pembaringan dipan rumah sakit itu. Tak ada aktivitas. Diam. Sambil menunggu. Yang ditunggu adalah datangnya waktu makan siang.
Indra merenung. Berpikir keras. Segala ingatan tentang obsesi pernikahannya berkelebat cepat satu persatu. Romantik namun kerdil. Indra kembali teringat episode lagu melankolik yang ia dengarkan tadi sore. Syairnya kembali terngiang. Indra istighfar. Nafasnya tertarik perlahan dan terhembus panjang. Lega. Ya, mimpi barusan adalah jawaban atas masalah yang dialaminya beberapa hari ini. Sakit. Indra tersindir. Hatinya nyinyir. Ia menyadari kalau beberapa waktu ini sebenarnya ia seperti orang sakit. Sakit akan nikah. Ia telah menjadi pasien pernikahan. Itulah mengapa ia tidak produktif. Karena demi menunggu moment pernikahan, waktunya tersita dalam jerat-jerat pikiran-pikiran itu. Pikirannya dimanjakan. Ia produktif dalam alam pikiran, namun mandul dalam amal. Kembali ia istighfar. Mengingat banyaknya tugas yang belum diselesaikan. Kuliah. Dakwah. Amanah. Belum ada satupun yang rampung dan menjadi PR-PR yang dibiarkan menggunung.
Suster dalam mimpinya tadi memberi pesan yang menggores batinnya laksana terapi bekam. Sakit memang. Tapi menyehatkan jiwa. Ia tahu solusinya. Ia tak lagi ingin menjadi pasien rumah sakit nikah. Ia tahu jam “makan siangnya” akan datang. Dan selagi masa penantiannya, ia tak ingin diam. Ia mau melakukan sesuatu. Ia bangkit. Masih ada 15 menit untuk berkonsultasi dengan “dokter cinta”. Dia-lah yang akan menyajikan “makan siang” untuknya jika telah tiba saatnya. Segala rencana esok telah disusun. Energi amalnya menyembur dahsyat. Melengserkan pikiran seputar pernikahan yang selama ini menjadi raja di otaknya. “Pernikahan itu kan datang seperti makan siang”. Kalimat tersebut diulang-ulang Indra. Hatinya mantap.
Dari kejauhan, menyelinap sayup-sayup rintihan suara seraya berlomba dengan nyanyian angin malam. Suara murottal dari masjid komplek rumahnya makin menggema. Mengalun indah. Mengiringi hati Indra yang semakin basah.
Ramai. Siang itu masjid UI cukup ramai. Matahari mulai menyembul di balik awan kelabu yang perlahan berlalu diajak kencan sang bayu. Udara yang menyergap juga terasa cukup lembab. Hujan memang baru saja mengguyur bumi depok sedari pagi. Itu sebab, banyak mahasiswa yang memilih kumpul di mesjid. Selain buat berteduh, mereka sepertinya sedang berlomba menyusun wirid bersaing dengan bunyi deraian air hujan yang sedang bertasbih memuji asma-Nya. Allahumma shoyyiban naafi’an...
Bang Andri baru saja selesai sholat sunnah tahiyatul masjid. HP bergetar. Ia angkat.
”Bang, kita ada di selasar utara. Udah pada kumpul. Abang dimana?”
Ia bilang, ia sudah di dalam mesjid. HP pun dimatikan setelah salam. Bang Andri bergegas menemui sekumpulan mahasiswa yang tak jauh dari lokasinya. Mereka nampak asyik tertawa. Saling meledek. Entah apa yang dibicarakan.
Sesuai janji, Bang Andri siang itu memang berencana mengisi KAWAN alias Kajian Ikhwan Fakultas Hukum UI. Sesuai namanya, maka yang boleh ikut hanya ikhwan aja alias laki-laki. Awalnya ia berpikir polos aja. Gak ada pikiran macam-macam. Namun pas sesi tanya jawab, ia mulai menemukan korelasi nama forum tersebut dengan isu yang kerap dimunculkan. Kira-kira apa coba? Ya, meski awalnya ia diminta berbicara seputar tarbiyah islamiyah, begitu sesi tanya jawab, mulai terjadi deviasi tema. Mereka mulai nyerempet-nyerempet omongin akhwat, nikah dan jodoh. Maklum, inikan Kajian Ikhwan. Bujang pula. Pas deh.
Bang Andri bertekad gak mau terseret terlalu jauh dalam tema ”sakral” itu. Ia cuman bilang kepada mereka di penghujung diskusi,
”Ada dua tema yang gak akan selesai dibahas. Yakni omongin dunia jin dan dunia akhwat. Karena keduanya punya sifat yang mirip untuk dibicarakan. Antara ada dan tiada....”, jelasnya sambil tersenyum.
Mereka tertawa. Tapi kurang puas.
Ia tahu, mereka akan bertanya lagi. Kalau gak bicarain akhwat ya masalah nikah. Namun sebelum mereka bicara, ia buru-buru bertanya balik. Khawatir keduluan.
”Menurut antum emang apa saja syarat untuk persiapan nikah?”
Pertanyaannya disambut ragu. Ada salah seorang yang mau menjawab tapi begitu melihat teman-temannya diam, dia menahan diri. Suasana jadi kaku. Masing-masing menahan diri sambil senyam senyum. Mereka sepertinya sedang menunggu jawaban langsung dari mulut Bang Andri. Seperti para santri menunggu fatwa sang kiyai.
Bang Andri gak tahan diam lama-lama begini dan langsung berkomentar dengan nada menyindir,
”Kalau gak tau syaratnya berarti pada belum pada siap nikah nih!!”
Komentarnya membuat seorang mahasiswa yang sepertinya biang isu-isu pernikahan di kelompok itu, terpancing. Tanpa ragu dia menjawab,
”Ya..kita sih tahu bang. Persiapannya mental dan modal khan? Mental artinya siap menanggung resiko dan modal maksudnya punya fulus yang lumayan cukup. Dan kayaknya kita sih belum sampe kesana persiapannya”, mimiknya serius.
Yang lain mengangguk. Menatap tajam ke arah Bang Andri. Mereka senyum. Menunggu Bang Andri menimpali.
”Hanya itu? Ada jawaban lain?”
Ia coba melempar pertanyaan lagi.
Karena gak ada yang menyahut, Bang Andri pun akhirnya memberi mereka sebuah ilustrasi.
“Coba antum perhatikan. Ada seorang perantau dari Medan mau datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ia memiliki mental yang kuat dan modal uang yang banyak. Begitu sampai di Jakarta, dia bingung mau ngapain karena gak punya ilmu buat mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya lama kelamaan, modalnya pun habis dan dia pun jadi gembel alias pengemis di Jakarta.”
Nampaknya mereka mulai manggut-manggut. Sedikit mengerti. Minta Bang Andri melanjutkan lagi.
”Itulah resiko orang yang tidak punya ilmu. Mental yang kuat dan modal yang banyak pun lama-kelamaan akan habis. Begitu juga dengan urusan nikah, jika tidak ada persiapan ilmu, maka banyak pasangan yang gagal dalam berumah tangga. Mental yang kuat pun akhirnya rapuh. Modal yang banyak akhirnya lenyap. Karena suatu urusan yang dikerjakan bukan oleh ahlinya, maka kita tinggal tunggu kehancurannya.”
Sunyi. Mereka menatap serius ke arah Bang Andri. Kurang puas. Bang Andri seperti dipaksa untuk bicara lagi.
”Sebelum menikah, banyak yang dilupakan oleh sebagian orang. Mereka terpacu untuk mengumpulkan banyak uang dan menguatkan tekad. Namun mereka mengabaikan persiapan yang paling penting. Yakni ilmu. Ilmu Nikah. Padahal mereka hendak memasuki kehidupan baru, yang belum terjamah. Dengan waktu yang panjang. Tak terbatas. Bayangkan kalau rumah tangga tidak didasari ilmu. Semua serba coba-coba. Dan akhirnya banyak yang gagal. Rumah tangga bubar. Kalaupun ada yang bertahan, hanya fisiknya saja. Hati menjerit ingin keluar dari situasi tersebut.”
”Jadi harus gimana bang?”
Mulai ada yang menimpali.
”Ya seperti kata qur’an. Fas’alu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun. Bertanyalah pada ahlinya jika kamu tidak mengetahui. Artinya, kalau emang benar-benar mau nikah, dari sekarang antum harus mulai rajin cari ilmu nikah. Tanya sama yang ahli. Pakar parenting kan udah mulai banyak. Sampai nanti lama-lama ada juga yang mau buat sekolah pernikahan atau kampus nikah...”
Sampai di sini semua pada bingung. Lumayan kaget. Senyum tipis. Tapi ekspresi mereka membenarkan pernyataan tersebut.
”Maksud abang, ilmu nikah itu harus ada kurikulumnya dan harus punya kampus sendiri?”
”Iya dong. Masalah rumah tangga khan banyak sekali. Mulai dari komunikasi dengan pasangan, manajemen keuangan, manajemen konflik, komunikasi pengasuhan anak, membentuk karakter anak, bicara sex dengan anak, dan lain-lain yang dibutuhkan bagi seseorang saat berumah tangga. Jangan sampai pas jadi ayah, mengasuh anak coba-coba. Akhirnya marah-marah begitu anak sulit diatur. Padahal itu semua karena kita gak punya ilmunya.”
Mereka masih terkesima. Seolah-olah tersihir dengan kalimat-kalimat itu. Bang Andri menghela nafas
”Di luar negeri sudah ada beberapa negara yang menerapkannya. Mereka buat sekolah bagi calon ayah dan ibu. Di Amerika disebut Parenting School. Di Malaysia namanya sekolah keibu-bapakan. Dan masih banyak yang lain. Sedangkan di kita sepertinya belum ada. Kursus pra nikah aja masih jarang. Padahal itu perlu banget. Yang baru mengadakan juga umumnya gereja-gereja. Setiap calon pengantin yang mau menikah, wajib kursus dulu per minggu di gereja selama 3 bulan sebelum dinyatakan layak menikah. Umat Islam masih jauh ketinggalan untuk urusan itu”
”Bener bang”, si biang menimpali.
”Kita kayaknya cuman sering dikasih motivasi buat menikah dini oleh para ustadz. Tapi gak pernah diajarin bagaimana caranya menjalankan pernikahan. Termasuk menjadi suami dan ayah yang baik. Kalau gitu kayaknya perlu juga nih di buat kampus nikah. Abang aja yang jadi rektornya ya. Ha ha ha !!!”
Ia tertawa lepas. Yang lain ikut tertawa. Puas. Usulan ini terdengar aneh, tapi semua setuju. Walau gak tau bagaimana mewujudkannya.
Bang Andri pun tersenyum puas, dan mulai usil lagi bertanya,
”Jadi kapan nih antum semua mau menikah?”
Si biang menjawab mewakili teman-temannya,
”Entar bang. Kalau udah dapat gelar S.Ni!!”
Yang lain heran. Gak ngerti. Si Biang meneruskan,
”SARJANA NIKAH !!!”
***
by: ajo Bendri Jaisyurrahman
Kau tahu, meski sampai kini aku belum tahu kapankah pertemuan itu, aku masih setia menanti dengan tatapan mesra dan bisikan manja kepada Rabbku tentang pertemuan itu, ya aku masih setia.
Eh sudah dulu yah, air mata ini semakin tak terbendung karena rindu.
Salam cinta untuk bahagiamu selalu
Hujan itu nyata
Senyata rindu yang tercipta untukmu, twina
Hujan itu nyata
Senyata penantian yang berujung bahagia : D
Hujan itu nyata
Senyata rasa yang tercipta krn cinta
Hujan itu nyata
Senyata aku yang tecipta untukmu, dan kamu yang tercipta untukku, karena Nya
Hujan itu nyata
Senyata do'a yg tertanam dari balik lisan yang terpana
Hujan itu nyata
Senyata kita yang dilahirkan dari rahim yang sama
Hujan itu nyata
Senyata masa lalu kita yang tetap terkenang dengan kata
Hujan itu nyata
Senyata kau, aku, dan sebait do'a