"kamu KEPO deeeehhhhh"

Kepo, suatu kata yang lagi naik daun belakangan ini, kurang lebih satu atau dua tahun inilah sebelum kata cabe-cabean, miapah, ciyus. Dsb.

Kata yang bisa membuat anak kecil terlihat kurang ajar di depan orang yang lebih tua. Contohnya aja, ketika dulu saya pernah mengajar di TK, bertanya pada siswa “apa kabar sayaang?” dan dijawab “ih ibu kepo deh”. Ada lagi ketika bertanya pada siswa kelas 2 SD, “hei, kamu sekolah di mana?” dan terjawab lagi “ih kakak kepo deh”. Marah? Jelas, tapi untuk apa? Mereka pun tak mengerti apa yang mereka katakan, jadi?hmmm

Kepo pula yang menjadikan seseorang yang sedikit dewasa terlihat menjadi kekanak-kanakan ketika ada yang bertanya, “gimana hasil rapat hari ini” jawaban sudah bisa ditebak “kepo”. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang tetap berujung pada satu jawaban “kepo”.

Kepo itu apa siiihhh???batasan kepo apa siiihhh???pada siapa aja kaah kepo boleh diucapkaannn??
Sebenarnya saya merasa tulisan ini tidak penting, apa pentingnya coba saya ikut-ikut arus merepotkan dan meributkan “kepo”. Tapi kemudian pikir berubah ketika semakin lama, semakin hari kepo semakin menyakiti saya sebagai lawan bicara. Lebay yah?haha bodo amat.

Jadi sebenarnya kepo adalah Knowing every Particular Object, ah saya yakin semua mah sudah tau arti kata kepo, tapi kira-kira tau gak yaa kapan dan pada siapa saja kepo itu pantas diucapkan??

Bagi saya, jika kamu merasa sudah dewasa seharusnya tahu betul kapan dan pada saat apa kepo itu layak untuk diucapkan, jangan sampai seseorang jadi malas dan hilang kepedulian hanya karena takut dianggap “kepo”. Jika sudah dewasa, harusnya kamu juga sudah sadar mana batas “kepo” dengan “kepodulian” (maksa). Jawablah mana pertanyaan-pertanyaan kepodulian dengan baik, dan tanggapilah dengan baik juga pertanyaan-pertanyaan yang keponya nyata. Misal, kalau ada yang bertanya “gimana keadaannya??” ya masa kita jawab “kepo deeeh”. Jadi mana donk yang termasuk pertanyaan kepo? Yaa kalau kamu sudah dewasa saya yakin sudah bisa membedakan. Saya kasih contoh pertanyaan yang keKEPOannya terlihat nyata, begini: “eh, sudah proses dengan ikhwan lagi belum?” nah itu tuh kepo. (ini kepo atau curhat sih) ^^

Yaaa gak penting kan nanya sama orang sudah taaruf lagi apa belum, lah emang taaruf itu untuk diberitakan??enggak kaaan?? Oke fokusfokus bahas kepo, taarufnya skip dulu.

Hati-hatilah terhadap penggunaan kata-kata yang terdengar tidak sopan dan kurang ajar, bukan hanya menyakiti lawan bicara, tetapi juga bisa menjadi contoh bagi anak-anak di sekitar kita. Lihat saja, berapa banyak anak-anak yang dengan kepolosan menjawab pertanyaan orang tuanya dengan jawaban “ih kepo deeehh”. Bahkan ada yang sangaat menyakitkan ketika seorang ibu mengajak anaknya makan “nak makan yuk” jawaban anaknya meski bukan keo, tapi dengan jawaban yang sejenis dengan itu “kalo aku gak makan masalah buat lo?” pengsan.

Nah, karena anak-anak adalah peniru terbaik, maka kita punya peran sangat besar dalam membentuk sifat kekurangajaran dan ketidaksopanan mereka. Perbaiki dari sekarang, kurangi dan hilangkan betul kata-kata yang memang tidak pantas untuk diucapkan sebelum generasi-generasi sekarang hilang kepedulian pada lingkungan sekitarnya.

Mari berkaca pada teladan yang kesopanannya diakui oleh orang yang mencintainya maupun yang membencinya, siapakah dia? Siapa lagi kalau bukan Rasulullah. Rasulullah sebagai sumber ilmu gak pernah tuh jawab pertanyaan-pertanyaan sahabat dengan jawaban sekenanya, beliau selalu jawab dengan jawaban yang paling manis. Misalnya saja, ketika ada sahabat yang bertanya “siapakah orang yang pantas aku hormati?” Rosulullah langsung menjawab “ibumu”, sahabat nanya lagi “lalu siapa ya Rosulullah?” Rosulullah tetap mau menjawab “ibumu”, sahabat masih nanya jugaa “lalu siapa lagi?” tetap Rosulullah jawab dengan jawaban yang benar “ibumu”, bahkan ketika sahabat mengajukan pertanyaan yang sama untuk keempat kalinya, Rosulullah gak menjawab “antum kepo deh, nanya mulu” tapi Rosulullah menjawab “kemudian ayahmu”.

Alhamdulillah, kita punya contoh terbaik sepanjang masa yah, bahkan untuk masalah “kepo” aja beliau bisa kita jadikan rujukan. Kita banyak mendapatkan ilmu, berjalan menuju calan cahaya karena Rosulullah mau menjawab segala permasalah-permasalahan yang ditanyakan oleh para sahabat. Semakin jelas lah bahwa kita betul-betul jauh dari pribadi beliau, karena setiap orang bertanya selalu, dan selalu, jawabnya “kepo deeehhh”.

Yuk ah, tinggalkan kata-kata tidak bermanfaat. Bayangkan sudah berapa banyak ilmu yang tidak kita sebar dan kita batasi hanya karena kita mengucap kata-kata yang membuat orang malas untuk bertanya. “ih kamu kepooo deeehhh”

Perbaiki diri, perbaiki hati, revisi kata, revisi tulisan dan sebarkanlah ilmu J

Sekian



Ketika Cinta bertasbih Versi Aldiles :)

Saya berpikir, bahwa hidup adalah tentang perputaran masa ke masa. Jika dulu saat kita kecil, saat menjadi anak, yang kita butuhkan bukan hanya tentang terpenuhinya materi, gadget gonta-ganti, fasilitas lengkap dan segala penilaian materi lain yang menjadi alasan orang tua bekerja, tapi ada hal lebih penting yang kita butuhkan. Kita butuh cinta dan perhatian dari orang tua kita untuk sekedar bertanya "nak, bagaimana kisahmu hari ini" dan sejenisnya, yap kita butuh cinta. Suatu hari, seorang anak yang kaya pernah bercerita sambil menangis bahwa dia tidak butuh mobil, rumah tingkat, dan segala fasilitas yang dia miliki, yang diberikan oleh orang tuanya, dia masih merasa tidak bahagia, karena dia merasa tidak dapat cinta dari kedua orang tuanya. Sekali lagi CINTA.
Dear ayahBunda, cintamu membuat sang anak dapat hidup dengan pribadi yang kuat, yang siap menjaga dan terjaganya kehormatan mereka, karena cinta mu ayah bunda. Maka berikan mereka cinta agar hidup mereka terarah, karena tak ada yang dapat melebihi kekuatan cinta sebagai pegangan hidup mereka. Cinta yang kalian sandarkan berdasarkan Allah J.
Dan kini, saat kita menjadi dewasa, saat masanya Allah berikan ke kita, masa untuk bekerja dan orang tua menikmati hasil, tetap sama. Mereka butuh dari kita bukan hanya tentang "uang bulanan" yang selalu kita sisihkan untuk mereka, tetapi juga tentang perhatian dan cinta dari anak dan cucunya, menikmati hari di masa tua sambil menatap tawa ceria dan bahagia dari anak dan cucu. Menikmati masa tua dengan sekedar bersandar pada anaknya dan sesekali meminta tangan kita memijatnya. Itulah cinta, sekali lagi CINTA.
Dear nanda, semakin bertambahnya usia orang tuamu, jiwa mereka semakin kosong, mereka berharap masih ada cinta yang tersisa untuk mereka, dan harapan mereka berlabuh pada anak-anak yang ia besarkan juga dengan penuh cinta. Maka kembalilah dengan penuh cinta J
Yap, hidup ini butuh cinta, mungkin itulah alasan yang membuat kita bergairah dalam menjalani takdir sebagai manusia. Seperti halnya Siti Hajar yang begitu bergairah berlari melintasi padang terik demi Ismail tercinta. Seperti halnya Rosulullah, disakiti, tersakiti tetapi tetap saja menyuapi sang nenek buta seorang yahudi. Kita belajar dari orang-orang penuh cinta tentang sebuah makna, CINTA.

Sebelum kita tertakdir menjadi orang tua, sebelum kita lupa rasanya menjadi seorang anak, sebelum waktu kita hampir habis, mari berikan cinta, sebanyak-banyaknya, seluas-luasnya, atas nama CINTA J

Menikahi Ibu

Namanya Faris. Seorang aktivis muda di sebuah organisasi Islam. Sosoknya amat terkenal. Lahir untuk dikagumi dan diharapkan, khususnya oleh banyak wanita. Cerdas, sholeh, tinggi dan tegap. So pasti juga tampan. Anak dari seorang pejabat yang mapan. Lengkap sudah keunggulannya. Para akhwat menjulukinya sebagai “Mushab bin Umair Abad Milenium”. Ya, ia begitu sempurna di mata seorang wanita. Nyaris tanpa cela. Dapat menjadi istrinya, adalah permintaan utama mereka dalam setiap munajat yang dipanjatkan sehabis sholat. Bahkan ada yang bertekad tak akan menikah jika tidak dengannya. Dahsyat!! Semangat baja ini dirumuskan dalam sebuah prinsip gila: sebelum bendera kuning berkibar, pantang putus dalam berharap. Paduan mesra antara kegigihan, kesungguhan dan kedunguan. Edan!!!

Namun ada yang ganjil. Di usianya yang sudah masuk kepala tiga, ternyata Faris belum juga punya pendamping hidup. Kabarnya, sudah beberapa kali ia ta’aruf tetapi selalu gagal. Isu miring pun muncul. Entah dia yang memang punya standar tinggi dalam menentukan jodoh atau adanya kelainan seksual yang dia miliki. Na’udzubillah!. Setan selalu menghembuskan pikiran buruk kepada kita jika harapan dan keinginan tak kesampaian.

Hingga akhirnya gegerlah jagad akhwat saat itu. Begitu terdengar sang pangeran sudah memiliki permaisuri, sirna sudah semua harapan. Bukan karena status Faris yang telah berubah menjadi suami orang lain, yang bikin nafas mereka sesak. Tapi pilihan hatinya yang membuat mereka ’sakit hati’. Unpredictable. Ya, Faris memutuskan menikahi seorang wanita janda beranak dua. Enam tahun lebih tua usianya. Meskipun wanita tersebut cukup manis namun kulitnya agak kusam dan gelap. Bahkan bobot tubuhnya serupa dengan model iklan pelangsing yang gagal. Tak ada sesuatu yang istimewa darinya. Tak sebanding jika harus bersanding dengan Faris, sang pangeran. Itu sebab, banyak pihak yang kasak kusuk mencari alasan Faris menikahi ’ibu’ tersebut. Tingkah mereka bak paparazzi yang telah dilatih intelijen. Liar. Licin. Tajam. Dan menerabas malu.
**

”Sejak awal saya memang tidak berniat mencari istri. Saya hanya butuh seorang ibu.” 
Inilah jawaban tegas Faris kepada setiap orang yang mencoba mengkonfirmasi ihwal pernikahan ’anehnya’. Dan dia tahu, bahwa jawaban tersebut tidak logis dan menggantung. Masih segudang tanda tanya yang menggunung. Bercampur rasa bingung. Maka Faris mulai memaparkan alasannya lebih dalam. Runut. Tajam.

”Dari dulu, saya meniatkan pernikahan saya bukan untuk sekedar kebutuhan pribadi saya semata. Tapi dapat berarti untuk masa depan dunia. Artinya, saya berharap penuh agar pernikahan saya dapat menjadi simbol peletakan batu pertama bagi bangunan peradaban dunia. Dimana akan lahir sosok pahlawan yang berasal langsung dari benih saya...”
Sampai sini, Faris terhenti kata-katanya. Ia seperti sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk menyampaikan pesan berikutnya.

”dan untuk mewujudkan hal tersebut, saya membutuhkan sosok ibu yang tepat untuk anak saya nanti. Ia bertugas mempersiapkan generasi setelah saya agar tumbuh menjadi pahlawan di masanya. Seandainya istri yang saya cari, maka saya sepertinya terlalu egois. Hanya berorientasi pada kebutuhan saya. Namun jika ibu yang saya nikahi, maka saya merasa telah memberikan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak saya nanti dan tentu saja dunia setelah ini...”

Emosinya mulai meningkat. Intonasinya semakin cepat. Untuk kemudian dalam beberapa saat ia menghela napas, dan mencoba melanjutkan lagi.

”pasangan hidup saya saat ini adalah seorang ibu yang sudah lama saya amati. Kepiawaiannya mengasuh dua anaknya, menarik hasrat jiwa saya. Saya kerap menyaksikan saat kedua anaknya yang masih belia bekerja membantu sang ibu setiap harinya dengan rasa riang sambil bersenandung qur’an. Anak-anak itu juga nampak ramah dan supel terhadap orang lain di sekitarnya. Subhanallah!! Karakter itu tak mungkin muncul jika tidak dibina oleh sosok ibu yang berkualitas. Saya mencintai sang ’ibu’ lewat perilaku yang ditunjukkan anak-anaknya. Maka tak ada alasan bagi saya untuk tidak memintanya menjadi ibu bagi anak saya nanti...”

**

Kalimat-kalimat itu sungguh amat dalam. Terkesan utopia. Tapi menusuk jiwa. Menghentak. Mentertawakan pikiran-pikiran kerdil yang menganggap sang ’ibu’ tak layak untuk dinikahi oleh pemuda pujaan. Justru Faris memberi pemahaman baru tentang hakekat sebuah pernikahan.
Pernikahan baginya bukan sekedar ”kontrak” antara dua insan untuk setia memenuhi hasrat masing-masing. Tapi jauh dari itu. Pernikahan merupakan ikrar bersama dari sebuah misi panjang guna mewujudkan generasi hebat di masa datang. Dan ’koalisi’ yang harus dibangun melalui lembaga pernikahan seharusnya bukan lagi sekedar antara suami dengan istri melainkan antara ayah dengan ibu.

Itu artinya, pilihan Faris memilih ’ibu’ sebagai partnernya bukan karena faktor kejandaan yang melekat pada diri wanita tersebut. Bukan pula karena usianya yang melampaui usia Faris. Ataupun jumlah anak yang dimilikinya. Tetapi lebih karena, kemampuan dari wanita itu untuk mewujudkan misi panjang hingga ke masa depan melalui sebuah peran vital yang tak tergantikan : Ibu. Ya, Ibu. Sebuah kata yang dilekatkan kepada sosok wanita yang memiliki kesungguhan dalam mendidik, kesiapan untuk berkorban, dan ketekunan dalam mengurai doa yang tak pernah putus untuk generasi mendatang. Dan ’ibu’ ini mungkin saja ada di dalam diri seorang gadis belia yang masih belasan tahun.

Pada dasarnya, ’ibu’ tidak hanya dibutuhkan oleh anak. Seorang ’ibu’, juga dibutuhkan sang suami. Seorang suami sering kali (harus) menjadi ’anak’ di saat-saat tertentu sebagai bagian dinamisasi jiwanya yang sering nampak garang di luar. Saat pulang ke rumah, jiwa garangnya perlu diiistirahatkan. Menjelma menjadi sosok anak manja yang bergairah. Dan hanya ’ibu’lah yang dapat memenuhi kebutuhan ’anak’ ini, bukan istri. Sekali lagi, sosok ’ibu’ pada diri wanitalah yang menjadi alasan kuat kenapa kita menikahinya.

Perlu diingat, bahwa pernikahan pada dasarnya ibarat sekolah yang dibangun untuk pahlawan masa depan. Ada misi di dalamnya. Sekali lagi : misi !!!. Bukan sekedar birahi. Dan akan lebih adil serta berimbang jika misi ini diwujudkan tidak hanya oleh seorang ibu. Harus ada ’ayah’. Ayah didaulat menjadi pemimpin pernikahan (baca : rumah tangga) guna menggerakkan misi tersebut menjadi nyata. Ibu dan ayah inilah yang membuat sebuah pernikahan ataupun rumah tangga menjadi berdaya.

Dan Faris mengajari kita langkah pertama guna mewujudkan hal itu. Yakni tepat dalam mencari pasangan. Ketika Faris mencari seorang ’ibu’ untuk dinikahi, itu tandanya ia pun menawarkan dirinya bukan lagi sebagai suami bagi pasangannya melainkan sebagai ayah untuk anak dari sang ’ibu’. Misi ketemu misi. Saling melengkapi.
Maka, kelak Faris pun akan mudah berkata, saat nanti anaknya bertanya, ”apa hadiah terbesar yang ayah telah berikan kepadaku?”

Cukuplah ia menjawab, ”Menikah dengan wanita yang dapat menjadi ibumu!!!”
***

ajo bendri jaisyurrahman

a.b.a.n.g "sebuah sapa menjelma CINTA"


Hallo rafa yang bulat wajahnya dan berbinar sinar matanya, waah tak terasa sebentar lagi kamu akan menjadi seorang abang ya nak, diusiamu yang kini baru saja beranjak 11 bulan. Rafa sayang, sebentar lagi kata sapa “abang” akan menjelma untukmu. Akan ada mulut-mulut mungil yang mengeja namamu perlahan-lahan dengan sebutan a.b.a.n.g.r.a.f.a. Hei tahukah kau nak, ummi dan abimu sungguh luar biasa hingga Allah mau menitipkan lagi amanah terbesar untuk ummi dan abimu, mereka sungguh hebat sayang, kau menyaksikan sendiri bagaimana perlakuan ummimu dan abimu dalam menjagamu hingga Rabbmu percaya bahwa mereka dapat menjadi orang tua terbaik untuk kau dan calon adikmu, bantu ummi dan abimu ya abang rafa tersayang.

Nak kau tak perlu khawatir, cinta kami terlebih cinta ummi dan abimu tak akan pernah berkurang, kau tetap jadi yang terindah diantara keindahan-keindahan dunia yang kami miliki. Kau tetap menjadi bintang yang nyalanya paling terang dihati tiap orang yang mengingatmu, pun juga calon adikmu nanti bang.
Aaaahhh rasanya mengharu dan membiru serta sedikit kelabu memanggilmu dengan kata “bang”, iya nak, kau akan menjadi seorang abang. Seorang abang yang begituuuu menyayangi adiknya. Seorang abang yang menjaga dan membela adiknya, abang yang cintanya begitu luar biasa pada adiknya, abang yang bisa menjadi teman cerita, teman perjalanan, dan teman yang lebih dari sekedar teman, karena kamu adalah ABANG.

Entah nak, rasanya bahagia ini begitu meluap-luap dari diri umma hingga tak tahu harus berkata apa untuk menyampaikan bahagia ini. Betapa masih terekam jelas ketika dulu abang rafa masih dalam perut ummimu, kita berlari perlahan menyusuri taman hijau, berjalan menapaki rumput basah tiap pagi, dan kini? Akan ada abang yang menemani ummimu melakukan semua itu. Untuk calon adikmu.

Duhai abang rafa, menjelmalah menjadi seorang abang yang penyayang, yang begitu menjaga adiknya, terlebih jika adikmu nanti adalah seorang perempuan. Ia, adikmu, membutuhkan sosok kakak yang bisa menjadi lebih dari sekedar kakak. Berikan cintamu untuk adikmu ya sayang, hingga kelak ia tak akan mencari cinta dilain hati J

Allah begitu tau, bahwa engkau mampu menjadi seorang kakak diusia mu yang tidak terlalu jauh dengan calon adikmu. Ah tak masalah nak, ummi, abi, dan kami semua akan mengajarimu memberikan cinta untuk adikmu. Ya, cinta. Yang karena cintamu, adikmu akan mencarimu untuk berbagi keluh. Yang karena cintamu, adikmu rela berbagi apapun yang dimilikinya. Yang karena cintamu, bahkan penduduk langit dan bumi cemburu pada kalian. Indahnyaaa, umma tak sabar menyaksikan itu semua.

Menjadilah abang yang penuh cinta, untuk ummimu, abimu, calon adikmu dan untuk semua yang mengenalmu.


Ini calon adikmu J




Pasien Pernikahan

“Akhirnya ku menemukanmu,

Saat hati ini mulai berlabuh.........
Kuberharap engkaulah,
Jawaban segala risau hatiku.......”

Senandung biru itu tiba-tiba menjadi akrab di telinga Indra. Bukan hanya di telinga. Tapi sudah menjalar bersama aliran darah di tubuhnya. Saraf korteksnya pun laksana jaring laba-laba yang menjerat dan mengikat syair lagu tersebut. Hingga tak boleh “bunyi-bunyi’ itu beranjak dari pikiran Indra. Ia menemani Indra saat di atas kereta, saat di jalan raya, saat mengendarai motor honda, saat meniti tangga, di ruang membaca, hingga saat sedang asyik bercengkerama dengan sohibnya. Dan semakin terasa kuat menggema ketika Indra sedang sendirian di kamarnya yang hanya berisi seonggok kasur dan sepotong kaca. Aneh. Tak disangka.

Padahal, “pertemuan” dirinya dengan lagu tersebut hanyalah sepintas. Tak diniatkan. Kala itu ia sedang berteduh di teras sebuah toko kaset. Suasana hujan lebat. Langit berkilat-kilat. Pemilik toko, entah sengaja atau tidak, menyetel lagu tersebut. Menemani tubuh Indra yang basah. Syahdu. Rinai hujan yang berdentum ke tanah, seolah menjadi harmoni yang senada dengan nada-nada lagu itu. Tanpa sadar, irama tubuh Indra turut terbawa alunan lagu yang cukup mellow tersebut. Alam bawah sadar Indra menerjemahkan suasana saat itu laksana gelora jiwa yang dahaga menemukan mata air nirwana. Sungguh melankolik. Hingga hujan berhenti, lagu tersebut masih mengalun kesekian kalinya. Berulang-ulang. Indra menikmati. Tak bosan.

Berangkat dari teras toko itu, ketika hujan tak lagi mengguyur, Indra masih terbuai. Meski baru mendengar lagu itu untuk kali pertamanya, ia merasa lagu itu seperti sedang menyuarakan suara hatinya. Atau lebih tepatnya, AKAN menyuarakan hatinya. Kelak. Ia akhirnya akan menemukan...ah...entah siapa. Ia ingin hatinya segera berlabuh. Ya, Indra memang sedang kasmaran. Tapi tak tahu dengan siapa. 
Seperti anak muda belia lainnya, saat ini ia sedang berjuang menaklukkan geliat hormon testosteronnya yang meledak-ledak hebat dalam kumparan syahwat. Untunglah, ia telah dibekali oleh bang ihsan, guru ngajinya, tips bertarung dalam “situasi” tersebut. Tapi lagi-lagi, senandung itu muncul. Naluri kelelakiannya bangkit. Indra memejamkan mata membayangkan jika ia menikah nanti. Ah...sungguh indah. Seakan-akan malaikat tersenyum padanya. Dan seluruh alam memberi restu untuknya. Hatinya berbunga-bunga. Tak terkira.

Tapi...Astaghfirullah...Indra tersadar dari lamunan. Lamunan yang menggetarkan naluri syahwatnya. Ah...Indra malu. Betul-betul malu. Dalam beberapa hari ini, pikirannya seperti kacau. Di dalam kamarnya yang sempit Indra merenungkan kembali ide-ide pernikahannya. Hari sudah beranjak malam.
Indra mempertanyakan, entah kenapa, pikirannya selalu tertuju pada momentum pernikahan. Ia begitu berhasrat melaksanakan sunnah nabi tersebut. Terlebih begitu mendengar taujih dari Ustadz Mabrur, yang dikenal pakar pernikahan, untuk segera melakukan pernikahan di usia muda. Ia pun banyak melahap buku-buku tentang motivasi pernikahan dini. Jadilah, imajinasinya dalam beberapa bulan terakhir ini mengarah kepada upaya nikah..nikah...dan nikah. Tanpa ia sadari, segenap aktivitasnya saat ini semua bermuara kepada satu hal : segera menikah. Kuliah dikebut agar segera lulus. Setelah lulus, cari fulus. Kemudian persiapan nikah serius. Bahkan saat ini pun, ia sudah merintis bisnis kecil-kecilan sebagai persiapan jikalau sewaktu-waktu ada akhwat yang kecantol di hatinya. Demikian Indra sudah merencanakan semuanya.

Namun, ia tak dapat memungkiri. Hatinya resah. Bayangan pernikahan selalu membuat hatinya gundah. Antara harap dan cemas jadi tak terpisah. Ia menjadi tak berdaya dan seperti dipenjara dengan pernikahan yang diidam-idamkannya. Tanpa terasa, matanya berkaca-kaca. Ia merasa malu. Hina. Terlebih begitu menyadari, seluruh potensinya kini serasa menjadi hilang dan lenyap demi urusan nikah. Di saat teman-teman pengajiannya, sibuk membicarakan program dakwah, perluasan teritori dakwah hingga perekrutan kader baru, justru ia asyik dengan alam pikiran dan kesibukannya dalam urusan nikah. Urusan dakwah terabaikan. Ia berapologi, saatnya nanti toh dakwah masih bisa dilakukan, bahkan lebih dahsyat lagi, jika ia telah menikah. Benarkah? Ia sendiri ragu akan hal itu. Jangan-jangan justeru ia makin terbuai dan meninggalkan amal-amal dakwah yang semestinya dia lakukan. Arghhh....
Dialog hebat dalam batinnya tersebut perlahan-lahan surut akibat rasa kantuk yang menyergap. Malam menyelimuti tubuhnya yang kecapaian. Terlebih suasana hujan sepanjang hari yang menjadikan kelopak mata enggan terbuka dan ingin selalu menguncup. Indra pulas. Benar-benar pulas.

Dalam mimpinya, ia merasa seperti berada di sebuah ruangan dalam rumah sakit. Nampak jelas di hadapannya seorang lelaki berkulit putih, memakai kacamata minus, dan di tangan kanannya terdapat infus. Laki-laki itu tengah berada dalam perawatan, meski kondisinya nampak segar dan bugar. Indra mengamati jelas lelaki itu.Rasanya ia mengenal akrab sosok lelaki yang terbaring di atas dipan berkasur putih tersebut. Ia mencoba meyakinkan sekali lagi. Yap...betul!! Ia tidak lagi ragu. Lelaki itu adalah dirinya. Indra sedang mengamati dirinya yang sedang di rawat di sebuah rumah sakit. Takjub.
Dalam situasi tersebut, Indra merasa dirinya seakan-akan penonton yang hanya mampu menyaksikan pementasan adegan yang nampak di depannya. Lelaki yang ada di hadapannya, yang tak lain adalah dirinya, terlihat selalu murung dan gelisah. Sesekali menyaksikan pintu masuk ruangan yang terletak di pojok kanan tempat ia berbaring. Ia seperti mengharap kehadiran seseorang. Entah siapa. Matanya tak pernah lepas dari pintu yang berwarna putih terang tersebut.
Tak berapa lama, sesosok wanita berseragam hijau muda menyembul di balik pintu sambil membawa sesuatu. Kontan lelaki itu segera bertanya, “Sudah masuk jam makan siang ya suster?”. 
Wanita itu yang ternyata seorang suster membalasnya dengan tersenyum tipis, untuk kemudian menjawab ringan, sambil merapikan tempat tidur lelaki tersebut. “Sabar ya mas, jam makan siang masih lama. Sekarang masih pagi. Coba cari kesibukan dulu deh biar gak gelisah. Kalau kita sibuk, menunggu datangnya jam makan siang jadi tak terasa lho. Tahu-tahu datang deh waktunya. Udah gak sabar ya, Mas Indra?”. 

Indra terkaget. Namanya disebut dengan jelas oleh suster itu. Dan itu membuat dirinya tersentak dari tidur pulasnya. Kelopak matanya mengembang cepat, untuk kemudian segera menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya adalah sebuah mimpi. Ya. Mimpi yang aneh. Penuh tanya. Ia betul-betul menyaksikan dirinya lemah di pembaringan dipan rumah sakit itu. Tak ada aktivitas. Diam. Sambil menunggu. Yang ditunggu adalah datangnya waktu makan siang.

Indra merenung. Berpikir keras. Segala ingatan tentang obsesi pernikahannya berkelebat cepat satu persatu. Romantik namun kerdil. Indra kembali teringat episode lagu melankolik yang ia dengarkan tadi sore. Syairnya kembali terngiang. Indra istighfar. Nafasnya tertarik perlahan dan terhembus panjang. Lega. Ya, mimpi barusan adalah jawaban atas masalah yang dialaminya beberapa hari ini. Sakit. Indra tersindir. Hatinya nyinyir. Ia menyadari kalau beberapa waktu ini sebenarnya ia seperti orang sakit. Sakit akan nikah. Ia telah menjadi pasien pernikahan. Itulah mengapa ia tidak produktif. Karena demi menunggu moment pernikahan, waktunya tersita dalam jerat-jerat pikiran-pikiran itu. Pikirannya dimanjakan. Ia produktif dalam alam pikiran, namun mandul dalam amal. Kembali ia istighfar. Mengingat banyaknya tugas yang belum diselesaikan. Kuliah. Dakwah. Amanah. Belum ada satupun yang rampung dan menjadi PR-PR yang dibiarkan menggunung. 

Suster dalam mimpinya tadi memberi pesan yang menggores batinnya laksana terapi bekam. Sakit memang. Tapi menyehatkan jiwa. Ia tahu solusinya. Ia tak lagi ingin menjadi pasien rumah sakit nikah. Ia tahu jam “makan siangnya” akan datang. Dan selagi masa penantiannya, ia tak ingin diam. Ia mau melakukan sesuatu. Ia bangkit. Masih ada 15 menit untuk berkonsultasi dengan “dokter cinta”. Dia-lah yang akan menyajikan “makan siang” untuknya jika telah tiba saatnya. Segala rencana esok telah disusun. Energi amalnya menyembur dahsyat. Melengserkan pikiran seputar pernikahan yang selama ini menjadi raja di otaknya. “Pernikahan itu kan datang seperti makan siang”. Kalimat tersebut diulang-ulang Indra. Hatinya mantap.

Dari kejauhan, menyelinap sayup-sayup rintihan suara seraya berlomba dengan nyanyian angin malam. Suara murottal dari masjid komplek rumahnya makin menggema. Mengalun indah. Mengiringi hati Indra yang semakin basah.
Hai orang-orang berselimut. Bangun dan berilah seruan..!!!”
***

Sarjana Nikah

Ramai. Siang itu masjid UI cukup ramai. Matahari mulai menyembul di balik awan kelabu yang perlahan berlalu diajak kencan sang bayu. Udara yang menyergap juga terasa cukup lembab. Hujan memang baru saja mengguyur bumi depok sedari pagi. Itu sebab, banyak mahasiswa yang memilih kumpul di mesjid. Selain buat berteduh, mereka sepertinya sedang berlomba menyusun wirid bersaing dengan bunyi deraian air hujan yang sedang bertasbih memuji asma-Nya. Allahumma shoyyiban naafi’an...

Bang Andri baru saja selesai sholat sunnah tahiyatul masjid. HP bergetar. Ia angkat.
”Bang, kita ada di selasar utara. Udah pada kumpul. Abang dimana?”
Ia bilang, ia sudah di dalam mesjid. HP pun dimatikan setelah salam. Bang Andri bergegas menemui sekumpulan mahasiswa yang tak jauh dari lokasinya. Mereka nampak asyik tertawa. Saling meledek. Entah apa yang dibicarakan.

Sesuai janji, Bang Andri siang itu memang berencana mengisi KAWAN alias Kajian Ikhwan Fakultas Hukum UI. Sesuai namanya, maka yang boleh ikut hanya ikhwan aja alias laki-laki. Awalnya ia berpikir polos aja. Gak ada pikiran macam-macam. Namun pas sesi tanya jawab, ia mulai menemukan korelasi nama forum tersebut dengan isu yang kerap dimunculkan. Kira-kira apa coba? Ya, meski awalnya ia diminta berbicara seputar tarbiyah islamiyah, begitu sesi tanya jawab, mulai terjadi deviasi tema. Mereka mulai nyerempet-nyerempet omongin akhwat, nikah dan jodoh. Maklum, inikan Kajian Ikhwan. Bujang pula. Pas deh.

Bang Andri bertekad gak mau terseret terlalu jauh dalam tema ”sakral” itu. Ia cuman bilang kepada mereka di penghujung diskusi, 
”Ada dua tema yang gak akan selesai dibahas. Yakni omongin dunia jin dan dunia akhwat. Karena keduanya punya sifat yang mirip untuk dibicarakan. Antara ada dan tiada....”, jelasnya sambil tersenyum. 
Mereka tertawa. Tapi kurang puas.
Ia tahu, mereka akan bertanya lagi. Kalau gak bicarain akhwat ya masalah nikah. Namun sebelum mereka bicara, ia buru-buru bertanya balik. Khawatir keduluan. 
”Menurut antum emang apa saja syarat untuk persiapan nikah?” 
Pertanyaannya disambut ragu. Ada salah seorang yang mau menjawab tapi begitu melihat teman-temannya diam, dia menahan diri. Suasana jadi kaku. Masing-masing menahan diri sambil senyam senyum. Mereka sepertinya sedang menunggu jawaban langsung dari mulut Bang Andri. Seperti para santri menunggu fatwa sang kiyai.

Bang Andri gak tahan diam lama-lama begini dan langsung berkomentar dengan nada menyindir, 
”Kalau gak tau syaratnya berarti pada belum pada siap nikah nih!!”
Komentarnya membuat seorang mahasiswa yang sepertinya biang isu-isu pernikahan di kelompok itu, terpancing. Tanpa ragu dia menjawab, 
”Ya..kita sih tahu bang. Persiapannya mental dan modal khan? Mental artinya siap menanggung resiko dan modal maksudnya punya fulus yang lumayan cukup. Dan kayaknya kita sih belum sampe kesana persiapannya”, mimiknya serius. 
Yang lain mengangguk. Menatap tajam ke arah Bang Andri. Mereka senyum. Menunggu Bang Andri menimpali.
”Hanya itu? Ada jawaban lain?” 
Ia coba melempar pertanyaan lagi. 
Karena gak ada yang menyahut, Bang Andri pun akhirnya memberi mereka sebuah ilustrasi. 
“Coba antum perhatikan. Ada seorang perantau dari Medan mau datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ia memiliki mental yang kuat dan modal uang yang banyak. Begitu sampai di Jakarta, dia bingung mau ngapain karena gak punya ilmu buat mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya lama kelamaan, modalnya pun habis dan dia pun jadi gembel alias pengemis di Jakarta.”

Nampaknya mereka mulai manggut-manggut. Sedikit mengerti. Minta Bang Andri melanjutkan lagi. 
”Itulah resiko orang yang tidak punya ilmu. Mental yang kuat dan modal yang banyak pun lama-kelamaan akan habis. Begitu juga dengan urusan nikah, jika tidak ada persiapan ilmu, maka banyak pasangan yang gagal dalam berumah tangga. Mental yang kuat pun akhirnya rapuh. Modal yang banyak akhirnya lenyap. Karena suatu urusan yang dikerjakan bukan oleh ahlinya, maka kita tinggal tunggu kehancurannya.”
Sunyi. Mereka menatap serius ke arah Bang Andri. Kurang puas. Bang Andri seperti dipaksa untuk bicara lagi.

”Sebelum menikah, banyak yang dilupakan oleh sebagian orang. Mereka terpacu untuk mengumpulkan banyak uang dan menguatkan tekad. Namun mereka mengabaikan persiapan yang paling penting. Yakni ilmu. Ilmu Nikah. Padahal mereka hendak memasuki kehidupan baru, yang belum terjamah. Dengan waktu yang panjang. Tak terbatas. Bayangkan kalau rumah tangga tidak didasari ilmu. Semua serba coba-coba. Dan akhirnya banyak yang gagal. Rumah tangga bubar. Kalaupun ada yang bertahan, hanya fisiknya saja. Hati menjerit ingin keluar dari situasi tersebut.”
”Jadi harus gimana bang?”
Mulai ada yang menimpali.
”Ya seperti kata qur’an. Fas’alu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun. Bertanyalah pada ahlinya jika kamu tidak mengetahui. Artinya, kalau emang benar-benar mau nikah, dari sekarang antum harus mulai rajin cari ilmu nikah. Tanya sama yang ahli. Pakar parenting kan udah mulai banyak. Sampai nanti lama-lama ada juga yang mau buat sekolah pernikahan atau kampus nikah...”

Sampai di sini semua pada bingung. Lumayan kaget. Senyum tipis. Tapi ekspresi mereka membenarkan pernyataan tersebut.
”Maksud abang, ilmu nikah itu harus ada kurikulumnya dan harus punya kampus sendiri?”
”Iya dong. Masalah rumah tangga khan banyak sekali. Mulai dari komunikasi dengan pasangan, manajemen keuangan, manajemen konflik, komunikasi pengasuhan anak, membentuk karakter anak, bicara sex dengan anak, dan lain-lain yang dibutuhkan bagi seseorang saat berumah tangga. Jangan sampai pas jadi ayah, mengasuh anak coba-coba. Akhirnya marah-marah begitu anak sulit diatur. Padahal itu semua karena kita gak punya ilmunya.”
Mereka masih terkesima. Seolah-olah tersihir dengan kalimat-kalimat itu. Bang Andri menghela nafas
”Di luar negeri sudah ada beberapa negara yang menerapkannya. Mereka buat sekolah bagi calon ayah dan ibu. Di Amerika disebut Parenting School. Di Malaysia namanya sekolah keibu-bapakan. Dan masih banyak yang lain. Sedangkan di kita sepertinya belum ada. Kursus pra nikah aja masih jarang. Padahal itu perlu banget. Yang baru mengadakan juga umumnya gereja-gereja. Setiap calon pengantin yang mau menikah, wajib kursus dulu per minggu di gereja selama 3 bulan sebelum dinyatakan layak menikah. Umat Islam masih jauh ketinggalan untuk urusan itu”
”Bener bang”, si biang menimpali.
”Kita kayaknya cuman sering dikasih motivasi buat menikah dini oleh para ustadz. Tapi gak pernah diajarin bagaimana caranya menjalankan pernikahan. Termasuk menjadi suami dan ayah yang baik. Kalau gitu kayaknya perlu juga nih di buat kampus nikah. Abang aja yang jadi rektornya ya. Ha ha ha !!!”

Ia tertawa lepas. Yang lain ikut tertawa. Puas. Usulan ini terdengar aneh, tapi semua setuju. Walau gak tau bagaimana mewujudkannya.
Bang Andri pun tersenyum puas, dan mulai usil lagi bertanya,
”Jadi kapan nih antum semua mau menikah?”
Si biang menjawab mewakili teman-temannya,
”Entar bang. Kalau udah dapat gelar S.Ni!!”
Yang lain heran. Gak ngerti. Si Biang meneruskan,
”SARJANA NIKAH !!!”

***


by: ajo Bendri Jaisyurrahman

"Catatan hati seorang istri"


Kita berjarak bukan karena ada jarak, namun kita berjarak ketika ada ruang dalam rasa yang tidak kita kehendaki. Kita sama-sama memiliki visi, memiliki misi untuk membangun istana kita, tak bisakah kita saling mengisi dalam visi dan misi yang kita miliki??
Kita menjadi terasing bukan karena kita sama-sama asing, namun kita menjadi terasing ketika aku dan kau tak lagi bisa saling mengerti. Samar bagiku, apakah engkau tak mengerti aku atau bahkan aku yang tak mengerti dirimu?bisa kah kau jelaskan?

Aku mencintaimu, pun berharap engkau pun masih mencintaiku persis ketika engkau menggetarkan penduduk langit dan bumi dengan ucap janji yang berat kepada Sang Maha, lupakah kau akan janji itu?atau bahkan aku yang terlalu berlebihan dalam memaknainya.
Bagiku, kata bukan sekedar kata dalam tiap rutinitas kita, kata adalah untaian berharga dari lisan kita yang tercipta dari akal yang mengiringinya.
Jika ada yang bisa kulakukan untuk keharmonisan istana kita, akan aku lakukan. Pun aku berharap kau juga melakukan.
Istana ini tetap milik kita, tak bisakah kita yang menjadi raja dan ratunya di istana kita sendiri??
Mohon katakan apa yang harus aku katakan, dan mohon dengarkan apa yang lisanku ucapkan.
Memahamilah, dan mengerti bahwa bahagia itu bukan aku, namun bahagia itu kita.
Bersama 

Termakna rindu

Aku bertatap mesra pada sebuah tanggal yang bersandar manis di dinding rumah kita. Aku menyaksikan dengan seksama, tanggal demi tanggal yang bersusun rapi beraturan dalam kertas yang menjadi acuan kita dalam memendam rasa.
Sampai detik ini, ketika aku menikmati tatapan manis penuh harap pada tanggalan tersebut, aku masih belum tau pada angka berapakah tatap mesraku bermuara?
Menanti hadirmu, menjalin benang-benang rindu yang selama ini terurai.
Kau tahu, meski sampai kini aku belum tahu kapankah pertemuan itu, aku masih setia menanti dengan tatapan mesra dan bisikan manja kepada Rabbku tentang pertemuan itu, ya aku masih setia.
Menelusuri jejak yang seakan tiada batas dalam tiap masa yang telah kita lewati bersama, antara aku dan kau, selalu ada sebait do'a..
Meskinya kita tahu, ini cara Allah menyampaikan cintaNya pada kita, iya pada kita, bukan hanya padaku yang bertemani sepi tetapi juga padamu yang bertemani syurgawi.

Kita sama-sama ditemani sepotong kata rindu yang kini menjadi berparagraf kata rindu yang tersusun rapi. Aku selalu menceritakan dengan bangga kisah kita, karena dengan begitu aku seperti memutar masa ketika engkau benar-benar di sini. 

Eh sudah dulu yah, air mata ini semakin tak terbendung karena rindu.
Salam cinta untuk bahagiamu selalu

Kau, aku dan sebait do'a

Hujan itu nyata
Senyata rindu yang tercipta untukmu, twina
Hujan itu nyata
Senyata penantian yang berujung bahagia : D
Hujan itu nyata
Senyata rasa yang tercipta krn cinta
Hujan itu nyata
Senyata aku yang tecipta untukmu, dan kamu yang tercipta untukku, karena Nya
Hujan itu nyata
Senyata do'a yg tertanam dari balik lisan yang terpana
Hujan itu nyata
Senyata kita yang dilahirkan dari rahim yang sama
Hujan itu nyata
Senyata masa lalu kita yang tetap terkenang dengan kata
Hujan itu nyata
Senyata kau, aku, dan sebait do'a

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger