Hujan itu dirindu karena jarangnya ia hadir menemani hari-hari bahagia kita. Andaikan ia hadir tiap waktu, dalam menit haluan pencari waktu, ia tak kan dirindu. Rindu pun berganti status menjadi perindu terik. Ah, begitu memang takdirnya.
Begitupun dengan rindu itu sendiri, katamu, kelak jika rindu itu selalu hadir dalam aksaramu, maka rindu tak lagi dirindu. Karenanya, buatlah rindu ini menjadi yang dirindukan kerinduannya, dalam sapa yang nanti tak berujung temu, dalam sapa yang nanti diam membisu, dalam sapa yang nanti akan kita kenang selalu.
Belajarlah untuk memaknai rindu, meski kau mulai mencandu, candu dalam rindu, rindu yang membuat candu.
Pada akhirnya kita akan tahu siapa yang paling merindu, aku ataukah kamu? Ini bukan tentang uji kerinduan, tapi ini adalah kerinduan yang diuji, agar kerinduan semakin dirindu penuh rindu.
Tak banyak kata dalam pemaknaannya, kini rindu adalah dalam genggamanNya, genggaman takdirNya.
Yang perlu kita tahu, kita tak bisa mengatur hadirnya hujan agar tetap dirindu, pun begitu dengan rindu pada tiap individu, bukan hanya rindu, rasa lain pun semisal cinta, benci, iri, bahagia, marah dan rasa lainnya juga tak bisa kita atur sekehendak kita, kau tahu kenapa? Karena hati itu bukan milik kita, yang bisa kita atur adalah hati kita sendiri, untuk urusan marah, cinta, iri bahkan urusan rindu, hanya hati kita yang dapat kita atur, bukan hati mereka.
Tak perlu sedih, ada Allah tempat kita kembali, tempat kita mengutarakan segala rasa ketika semua tempat di hati individu-individu tak lagi siap menampung rasa kita, lagi-lagi termasuk urusan rindu. Meski semestinya ini kau lakukan dari awal. Benar kan? :)
Dan tentang hujan, ia akan tetap merindukan hutan tempatnya mencurahkan keluh, dan hutan, masihkah bersedia menampung segala rasa dari hujan?
*bersama kita bagai hutan dan hujan, aku ada karena kau telah tercipta(s07)*
Aku merugi, kataku tempo hari.
Ketika kaki tak kulangkahkan untuk mencari ridhoNya. Padahal aku tahu, tersebab ridhoNyalah kini aku masih menapak jejak bahagia di bumi yang Allah anugerahi cinta.
Langit pun menyatakan dengan teriknya, menguji iman dalam syukur yang tanpa caci maki keluh. Simak saja desau anginnya, sekerontang apapun siangmu, angin tak pernah absen untuk hadir demi membelai lembut ujung jilbabmu. Dalam angin yang mengicaukan kesejukan, adakah ucap syukurmu?
Aku malu, hanya itu ucap yang terdengar. Memutar-mutar waktu yang terpenuhi dalam hari, terucap sering kah namaMu? dalam bahagia dan penatku, ataukah ucapku tentangMu hanya berisi deret paksa suatu pinta?
Pinta yang terlalu banyak, sedang syukur yang masih sedikit. Cukupkah hanya dengan malu yang aku utarakan padaMu duhai Robbi? Luasnya Rahmat dan RahmanMu, bagaimana bisa terlewati dengan jejak-jejak syukur dalam lisan yang terbata-bata dalam menyebut namaMu?
Maka ampuni, kelalaian yang membuat kami merugi. Hingarbingar jalanan tak jua menyadarkan kami untuk kembali, menyebut namaMu dalam sujud panjang siang dan malam hari.
Kami ini apa?
Kami ini siapa?
Kami ini bukan apa dan siapa jika bukan karena Mu, duhai Pemilik hidup kami.
Selayaknya Nabi Musa dalam doanya; Maka, terhadap apa yang Engkau turunkan, kami sangat membutuhkan.
Terbaik dariMu, pastilah baik bagi kami.
Mohon anugerahi iman, untuk mempercayai....
Genggam kami, dalam maghfirohMu.
Selalu....
Ruh-ruh yang dipersatukan oleh iman, semestinya saling menjaga dan terjaga. Maaf jika ini terbaca sebagai sebuah tuntutan. Bukankah persaudaraan juga tuntutan? tuntutan agar tak hanya bersaudara di dunia, pun di hari akhir yang syurga menjadi mimpi kita, tak inginkah juga bersama dan bersaudara di sana??
Maka, menjagalah kita dalam keterikatan iman, keterikatan hati yang saling terpaut karena dan olehNya, oleh Ia yang menyatukan hati dan hati kita.
Semestinya aku tahu, tugas ini tak ringan. Tapi, kau pun harus tahu, bahwa tugas ini tak berat. Allah yang sudah satukan kita.
Kecewa? Ah tentu saja, sudah berapa banyak kecewa yang luluh lantak tersebab kata maaf dari masing-masing kita? Hingga, ia mengubah rasa menjadi bahagia.
Aku tahu, perjalanan ini tak selamanya dan tak melulu tentang mencipta suatu bahagia, karena hidup bukan hanya tentang bahagia kan? Kita pun sesekali perlu berkenalan apa itu kecewa. Aku terhadapmu, ataukah kamu terhadapku.
Kita sama saja, sama-sama terlahir sebagai manusia, yang punya segudang rasa. Namun begitu, kita punya alat yang bisa kita pergunakan untuk memperbaiki itu semua kan?
Cobalah memahami, jika sulit, mungkin kata memahami perlu kita ganti dengan selamatkan. Ya, cobalah selamatkan. Selamatkan rasa bahagia yang terampas dari persaudaraan kita. Selamatkan persaudaraan kita dari segala buruk sangka. Selamatkan persangkaan kita dari kecewa yang mengores luka.
Aku terhadapmu, ataukah kamu terhadapku.
Sama saja, kita sama-sama berpeluang untuk saling menjaga, dalam keterjagaan dengan iman yang kita punya. Kita bersaudara. Katamu, karena Allah kan?
Itu saja, semoga nyata segala mimpi kita untuk tetap bersama, dalam kecewa dan bahagia, hingga menuju syurga.
Selamanya.
Saat kaki-kaki mulai lemah, menginjak dan terinjak pada apa yang membuat kita tegar berdiri, menyiapkan hati, memperbaiki diri, serta mengasah nurani. Percayalah, semua akan berlalu. Mengalun dalam ayun menuju keridhoan dariNya tentang sebuah lelah dalam lillah.
Ketika peluh tersandarkan pada keluh, tentang sebuah rasa yang tak terenyuh, meski hati memilih menyingkap jenuh. Percayalah, semua akan berlalu. Dalam hati yang ridho pada ketetapanNya yang menyentuh dengan kepasrahan yang utuh.
Jika matamu menderas air duka, pada linangan penuh kecewa, tentang rasa sakit yang menganga, tersibak dalam rasa yang tak biasa. Percayalah, semua akan berlalu. Tertampaklah bahagia untukmu dalam balutan baik sangka padaNya yang membuat bahagia semakin merona.
Pada yang terlampiaskan rindu dalam jarak yang tak tertempuh jejak, meresapi hidup dalam pengulangan sebuah kenangan, mengorek gelisah, menanti tentang sebuah pertemuan. Percayalah, semuanya akan berlalu. Hingga pada suatu masa, tatapmu tak lagi bercahayakan kelopak bening tanda kerinduan, yang ada hanya pelukan hangat dan belaian nyata.
Sekejap rasa kau ciptakan untuk merasakan kecewa, hingga tak ada lagi tatap baik sangka, tentang rasa yang terbelah dalam biduk suatu masalah. Senyap pun menghinggapi, menyoal keengganan untuk pergi. Percayalah, semua akan berlalu. Teriring beruntai dan bertumpuk-tumpuk kata pengikat segala kecewa. Maaf, katamu. Hingga luluh rasa menghilangkan kecewa.
KataNya, Ia tak akan mengubah nasib kita sebelum kita sendiri yang mengubahnya. Dan kini, usahamu dalam penyempurnaan takdirmu memang tak semulus imaji dalam khayalmu. Tak mengapa. Percayalah, semua akan berlalu. Hingga disuatu masa, entah kini ataukah nanti, kan terhadir bahagia tersebab upaya dalam lelahmu.
Masa-masa bahagia akan dipergilirkan, pun begitu dengan masa-masa duka yang kau rasa selama panjang usia. Percayalah, semua akan berlalu. Kelak, Senyum simpul tak lagi malu-malu menjadi teman setia sebagai pertanda, kau telah bahagia.
Semua memang akan berlalu, berlalu dengan menjadi bahagia, ataukah duka, tergantung pada pencapaianmu dalam melewatinya. Apakah kau tapaki tiap jejaknya, ataukah hanya pandang yang menelusuri jalannya, atau yang berbahaya ketika tak ada usaha dalam pengubahan capaianmu. Karena, memang semua akan berlalu seperti halnya hidup kita pun pasti berlalu, hingga aksara meninggalkan nama. Sedang kebaikankah yang kita bawa?ataukah nestapa dalam hisabNya?
Maka, biarkan ia berlalu dengan ketaatanmu dalam penyempurnaan takdirNya. Selalu.