Aku salah, aku menyalahkan. -catatan untuk lelaki dan wanita-

"Yaaa ini kan salah dia, siapa suruh mau aja diPHPin" disudut percakapan lelaki itu berkata dengan pasti.
"Kenapa sih, dia PHP banget, ya kalo emang menutup hati kenapa gak menutup diri dari awal!!" sedang disudut lain, wanita ini meratapi.

Dan diantara orang-orang yang menyalahkan, selalu ada orang yang kebingungan berada dalam posisi tengah, tak berpihak, tak berat sebelah. 

Pernah nonton film i'm not stupid too 2? Pada bagian ibu dan ayah yang saling menyalahkan, siapa yang paling disulitkan? Jelas, anak-anaklah, atau mereka-mereka yang tak ada kaitan. Begitulah, saya sering berada dalam posisi ini, posisi jadi orang tengah meski bukan penengah. Bukan posisi si wanita itu loh, bukan banget. Karena berharap pada ia yang bukan mahrom bagi saya adalah bunuh diri, maka sebisa mungkin tak berharap atau menyandarkan harapan. Haha :)

Lelaki menyalahkan wanita, sedang wanita menyalahkan lelaki? Eh hei, kenapa masing-masing tak evaluasi saja? Mencoba sadar (meski sulit) bahwa ini memang salah diri kita sendiri. Jika tahu bahwa berharap pada manusia akan berujung sakit, mengapa masih menyandarkan harapan? Ah tanya yang tak pernah ada jawab.

Sadarkah bahwa, antara lelaki dan wanita, mereka sama-sama membuka celah itu, celah untuk saling merasakan kecewa satu sama lain. Allah sudah menjadikan rasa itu sebagai fitrah, fitrah yang bukan dibiarkan begitu saja, lepas tanpa arah, tapi semestinya fitrah yang sesuai perintah dan menuai berkah. Bisa jadi apa yang dikatakan oleh lelaki benar, bahwa wanita lah yang terlalu banyak berharap. Ya kemungkinan ini boleh saja kita evaluasi. Mengevaluasi jejak-jejak perjalanan sebelum harap tercipta dalam tiap perjumpaan. Bahkan bisa saja, mengevaluasi diri sendiri mengapa ada seseorang yang begitu memikat harapan kita? Mungkinkah selama ini, kita kurang dekat pada Allah, yang semestinya segala harap tersandarkan? Mungkinkah ketika dari awal kita tak bersikap tegas untuk nyatakan bahwa hati kita bukan tanah lapang tempat lelaki bermain dan menitipkan rasa? Mungkinkah karena kita tak bersikap untuk menyudahi segala gelisah ketika belum meluas?

Bukan, ini bukan berarti saya mengisyaratkan bahwa segala salah tertumpah pada wanita, tidak. Saya wanita, tegakah saya menyandarkan salah pada sesama wanita. Anggap saja ini sebagai sebuah ajakan, ajakan dalam mengevaluasi dan mencari sebab masalah tanpa harus menyalahkan.

Kini, mari kita mengevaluasi dengan arah sebaliknya. Bisa jadi yang dikatakan wanita benar, mengapa tak bisa bersikap sewajarnya, wajar yang tidak menspesialkan semua wanita, dan tidak menganggap rendah tiap wanita. Terhijabi dan menjaga. Menutup hati dengan segala pertanda yang jelas. Bukankah kita sama-sama tahu bahwa lelaki pemberani adalah ia yang berani mengatakan "saya terima nikahnya" maka ketika belum ada keberanian, jangan biarkan hati terbuka, terlebih jangan biarkan seorang wanita merasa kau adalah miliknya. Hentikan sudah sandi-sandi rayuan, senyum-senyum (sok) rupawan, dan kata-kata penuh pengharapan. 

Mari kita mengingat sejenak tentang dua sisi makhluk ini dengan hati yang lapang. Teruntuk wanita, terlupakah bahwa wanita merupakan salah satu godaan terberat bagi lelaki? Maka ketika Allah sudah mengisyaratkannya, jangan lagi derai manja, tatap rayu, dan perhatian-perhatian yang membuat lelaki tergoda. Bukankah itu awal dari timbulnya pengharapan pada ia? Jika nyatanya hal itu tidak pernah wanita lakukan namun nyatanya tetap ada lelaki yang terlihat memberi harap, milikilah keberanian untuk berkata "jangan bermain dengan hati" kemudian beranilah untuk meninggalkan. Dan untuk lelaki, terlupakah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga pandang? Ya meski perintah ini juga tertuju untuk wanita. Namun sebab perintahNya, lelaki dan wanita sama-sama terselamatkan jika kau melaksanakan. Menyelamatkan kau sebagai lelaki dari wanita yang mungkin akan membuatmu jatuh hati, dan menyelamatkan ia sebagai wanita agar tak melulu berharap pada sosokmu yang tak mampu mengabulkan harapan. Benarkan? Jika sulit menjalankan perintah ini, maka milikilah keluasan ilmu dan keberanian untuk mengambil alih penjagaan yang dilakukan oleh ayah dari wanita dengan akad menjadi langkah awal. Hanya hal ini yang mampu menjaga antara laki-laki dan wanita. Kau percaya kan?

Maka kini, kita sudahi saja cara lama kita yang selalu menyalahkan, beranilah masing-masing berkata "baik, saya yang salah" dan tentukan sikap. Menyudahi atau bahkan melupakan jika peluang untuk menjadi halal tak kalian temukan. Jika sulit kau lakukan, cukup tempatkan dirimu menjadi dia, agar kau tahu bahwa rasa ini sama tidak enaknya, bagimu, atau bagi ia. Maka katakan saja "saya salah, maafkan..."

Teruntuk wanita, percayalah, lelaki yang baik adalah ia yang menjaga hatimu agar tak terkotori dengan namanya.
Teruntuk lelaki, percayalah, wanita yang baik adalah ia yang tak perkenankan dirimu dengan mudahnya masuk ke dalam hatinya.

Mari saling menjaga dalam keterjagaan diri kita. Untuk ia, terlebih untuk kita.



Agar rindu semakin dirindu

Hujan itu dirindu karena jarangnya ia hadir menemani hari-hari bahagia kita. Andaikan ia hadir tiap waktu, dalam menit haluan pencari waktu, ia tak kan dirindu. Rindu pun berganti status menjadi perindu terik. Ah, begitu memang takdirnya.
Begitupun dengan rindu itu sendiri, katamu, kelak jika rindu itu selalu hadir dalam aksaramu, maka rindu tak lagi dirindu. Karenanya, buatlah rindu ini menjadi yang dirindukan kerinduannya, dalam sapa yang nanti tak berujung temu, dalam sapa yang nanti diam membisu, dalam sapa yang nanti akan kita kenang selalu.

Belajarlah untuk memaknai rindu, meski kau mulai mencandu, candu dalam rindu, rindu yang membuat candu.
Pada akhirnya kita akan tahu siapa yang paling merindu, aku ataukah kamu? Ini bukan tentang uji kerinduan, tapi ini adalah kerinduan yang diuji, agar kerinduan semakin dirindu penuh rindu.
Tak banyak kata dalam pemaknaannya, kini rindu adalah dalam genggamanNya, genggaman takdirNya.

Yang perlu kita tahu, kita tak bisa mengatur hadirnya hujan agar tetap dirindu, pun begitu dengan rindu pada tiap individu, bukan hanya rindu, rasa lain pun semisal cinta, benci, iri, bahagia, marah dan rasa lainnya juga tak bisa kita atur sekehendak kita, kau tahu kenapa? Karena hati itu bukan milik kita, yang bisa kita atur adalah hati kita sendiri, untuk urusan marah, cinta, iri bahkan urusan rindu, hanya hati kita yang dapat kita atur, bukan hati mereka.

Tak perlu sedih, ada Allah tempat kita kembali, tempat kita mengutarakan segala rasa ketika semua tempat di hati individu-individu tak lagi siap menampung rasa kita, lagi-lagi termasuk urusan rindu. Meski semestinya ini kau lakukan dari awal. Benar kan? :)

Dan tentang hujan, ia akan tetap merindukan hutan tempatnya mencurahkan keluh, dan hutan, masihkah bersedia menampung segala rasa dari hujan?

*bersama kita bagai hutan dan hujan, aku ada karena kau telah tercipta(s07)*

Sebait harap pada Pemilik Harap

Aku merugi, kataku tempo hari.
Ketika kaki tak kulangkahkan untuk mencari ridhoNya. Padahal aku tahu, tersebab ridhoNyalah kini aku masih menapak jejak bahagia di bumi yang Allah anugerahi cinta.
Langit pun menyatakan dengan teriknya, menguji iman dalam syukur yang tanpa caci maki keluh. Simak saja desau anginnya, sekerontang apapun siangmu, angin tak pernah absen untuk hadir demi membelai lembut ujung jilbabmu. Dalam angin yang mengicaukan kesejukan, adakah ucap syukurmu?

Aku malu, hanya itu ucap yang terdengar. Memutar-mutar waktu yang terpenuhi dalam hari, terucap sering kah namaMu? dalam bahagia dan penatku, ataukah ucapku tentangMu hanya berisi deret paksa suatu pinta?

Pinta yang terlalu banyak, sedang syukur yang masih sedikit. Cukupkah hanya dengan malu yang aku utarakan padaMu duhai Robbi? Luasnya Rahmat dan RahmanMu, bagaimana bisa terlewati dengan jejak-jejak syukur dalam lisan yang terbata-bata dalam menyebut namaMu?

Maka ampuni, kelalaian yang membuat kami merugi. Hingarbingar jalanan tak jua menyadarkan kami untuk kembali, menyebut namaMu dalam sujud panjang siang dan malam hari.
Kami ini apa?
Kami ini siapa?
Kami ini bukan apa dan siapa jika bukan karena Mu, duhai Pemilik hidup kami.

Selayaknya Nabi Musa dalam doanya; Maka, terhadap apa yang Engkau turunkan, kami sangat membutuhkan.

Terbaik dariMu, pastilah baik bagi kami.
Mohon anugerahi iman, untuk mempercayai....

Genggam kami, dalam maghfirohMu.
Selalu....

ruh yang (katanya)dipersatukan oleh Iman

Ruh-ruh yang dipersatukan oleh iman, semestinya saling menjaga dan terjaga. Maaf jika ini terbaca sebagai sebuah tuntutan. Bukankah persaudaraan juga tuntutan? tuntutan agar tak hanya bersaudara di dunia, pun di hari akhir yang syurga menjadi mimpi kita, tak inginkah juga bersama dan bersaudara di sana??

Maka, menjagalah kita dalam keterikatan iman, keterikatan hati yang saling terpaut karena dan olehNya, oleh Ia yang menyatukan hati dan hati kita.

Semestinya aku tahu, tugas ini tak ringan. Tapi, kau pun harus tahu, bahwa tugas ini tak berat. Allah yang sudah satukan kita.
Kecewa? Ah tentu saja, sudah berapa banyak kecewa yang luluh lantak tersebab kata maaf dari masing-masing kita? Hingga, ia mengubah rasa menjadi bahagia.

Aku tahu, perjalanan ini tak selamanya dan tak melulu tentang mencipta suatu bahagia, karena hidup bukan hanya tentang bahagia kan? Kita pun sesekali perlu berkenalan apa itu kecewa. Aku terhadapmu, ataukah kamu terhadapku.
Kita sama saja, sama-sama terlahir sebagai manusia, yang punya segudang rasa. Namun begitu, kita punya alat yang bisa kita pergunakan untuk memperbaiki itu semua kan?

Cobalah memahami, jika sulit, mungkin kata memahami perlu kita ganti dengan selamatkan. Ya, cobalah selamatkan. Selamatkan rasa bahagia yang terampas dari persaudaraan kita. Selamatkan persaudaraan kita dari segala buruk sangka. Selamatkan persangkaan kita dari kecewa yang mengores luka.

Aku terhadapmu, ataukah kamu terhadapku.
Sama saja, kita sama-sama berpeluang untuk saling menjaga, dalam keterjagaan dengan iman yang kita punya. Kita bersaudara. Katamu, karena Allah kan?
Itu saja, semoga nyata segala mimpi kita untuk tetap bersama, dalam kecewa dan bahagia, hingga menuju syurga.
Selamanya.

Semua akan berlalu

Saat kaki-kaki mulai lemah, menginjak dan terinjak pada apa yang membuat kita tegar berdiri, menyiapkan hati, memperbaiki diri, serta mengasah nurani. Percayalah, semua akan berlalu. Mengalun dalam ayun menuju keridhoan dariNya tentang sebuah lelah dalam lillah.

Ketika peluh tersandarkan pada keluh, tentang sebuah rasa yang tak terenyuh, meski hati memilih menyingkap jenuh. Percayalah, semua akan berlalu. Dalam hati yang ridho pada ketetapanNya yang menyentuh dengan kepasrahan yang utuh.

Jika matamu menderas air duka, pada linangan penuh kecewa, tentang rasa sakit yang menganga, tersibak dalam rasa yang tak biasa. Percayalah, semua akan berlalu. Tertampaklah bahagia untukmu dalam balutan baik sangka padaNya yang membuat bahagia semakin merona.

Pada yang terlampiaskan rindu dalam jarak yang tak tertempuh jejak, meresapi hidup dalam pengulangan sebuah kenangan, mengorek gelisah, menanti tentang sebuah pertemuan. Percayalah, semuanya akan berlalu. Hingga pada suatu masa, tatapmu tak lagi bercahayakan kelopak bening tanda kerinduan, yang ada hanya pelukan hangat dan belaian nyata.

Sekejap rasa kau ciptakan untuk merasakan kecewa, hingga tak ada lagi tatap baik sangka, tentang rasa yang terbelah dalam biduk suatu masalah. Senyap pun menghinggapi, menyoal keengganan untuk pergi. Percayalah, semua akan berlalu. Teriring beruntai dan bertumpuk-tumpuk kata pengikat segala kecewa. Maaf, katamu. Hingga luluh rasa menghilangkan kecewa.

KataNya, Ia tak akan mengubah nasib kita sebelum kita sendiri yang mengubahnya. Dan kini, usahamu dalam penyempurnaan takdirmu memang tak semulus imaji dalam khayalmu. Tak mengapa. Percayalah, semua akan berlalu. Hingga disuatu masa, entah kini ataukah nanti, kan terhadir bahagia tersebab upaya dalam lelahmu.

Masa-masa bahagia akan dipergilirkan, pun begitu dengan masa-masa duka yang kau rasa selama panjang usia. Percayalah, semua akan berlalu. Kelak, Senyum simpul tak lagi malu-malu menjadi teman setia sebagai pertanda, kau telah bahagia.

Semua memang akan berlalu, berlalu dengan menjadi bahagia, ataukah duka, tergantung pada pencapaianmu dalam melewatinya. Apakah kau tapaki tiap jejaknya, ataukah hanya pandang yang menelusuri jalannya, atau yang berbahaya ketika tak ada usaha dalam pengubahan capaianmu. Karena, memang semua akan berlalu seperti halnya hidup kita pun pasti berlalu, hingga aksara meninggalkan nama. Sedang kebaikankah yang kita bawa?ataukah nestapa dalam hisabNya?

Maka, biarkan ia berlalu dengan ketaatanmu dalam penyempurnaan takdirNya. Selalu.

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger