masihkah terbuka selalu?

Bolehkah ku lihat rupa wajahmu dalam kilaunya rinai hujan subuh tadi?

Ia serupa genangan dalam rupa penuh kenangan, membanjiri sawah hijau, membasahi tanah merah, meneduhi kota-kota tua yang penuh dengan pekikan keluh anak manusia. Dan itu kota ku.

"Assalamualaikum pagi". 

Ku buka mataku dengan syukur karena Allah memberiku satu hari lagi untuk merasakan cintaNya. Semalam, tertidur dengan mata yang basah, diiringi isak yang terlantun tiada bernada. Oooh Allah, aku sungguh hamba penuh dosa, ku abaikan baktiku pada ia yang tiada abai untuk hidupku. Kembali ku ingat rupa ceria wajahnya yang memenuhi langit kamar yang tiba-tiba bermuram, karena tingkahku yang bagai meringanringankan yang berat dan memberatkan yang ringan, ah entahlah, bahkan aku sendiri sulit mendefinisikannya.

Yang aku tahu hanya, aku salah, dan dalam diammu bagiku terbaca bagai sebuah kecewa. Hingga dalam perjalanan menuju upayaku menjerihpayahkan peluh, mataku basah, tak deras memang, hanya linangannya terjebak dalam lingkaran-lingkaran mata yang kemudian kering tersapu debu pekatnya jalanan, selanjutnya Allah masih membimbingku untuk memohon ampun. Semoga Allah memberiku waktu untuk mencintaimu tanpa syarat, mengasihimu tanpa menguasai penuh hasrat, dan membaktikan hidup untukmu tanpa wajah yang muram suram. Meski yang ku yakini, maafmu bagai samudera yang tak hingga.

Detik pagi kemudian berlalu menuju terik, sinar yang menyeringai tetap dirasa hingga bagai meniadakan penyejuk dalam ruangan ini. Serupa bapak penuh kasih bagi putri bergelayut manja yang kini mampir dihadapanku. Tak dirasakannya segala peluh yang ia upayakan bagi satu kata 'bahagia' bagi putrinya. Aku hanya ingin berkata, "kamu beruntung teman", ya beruntung, masih dibersamai olehnya hingga baligh menjelang. 

Hei ini bukan wujud ketiadaan syukur kan? Ah semoga tidak. Yang jelas, adegan penuh kasih ini kembali sukses membuatku mengevaluasi perjalanan cinta terhadapnya. Terhadap ia yang penuh kasih tanpa pernah menagih. 

Aku ingin pulang...

Dan ketukan-ketukan merdu dari suara adzan memecahkan lamunanku dalam perjalan pulang petang ini, maghrib menjelang, selangkah lagi wajah kumal ku kembali menatapnya. Meski raguku kembali menyiratkan kesedihan, masihkah senyum itu tetap sama?

-Aldiles Delta Asmara-

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger