Sarjana Nikah

Ramai. Siang itu masjid UI cukup ramai. Matahari mulai menyembul di balik awan kelabu yang perlahan berlalu diajak kencan sang bayu. Udara yang menyergap juga terasa cukup lembab. Hujan memang baru saja mengguyur bumi depok sedari pagi. Itu sebab, banyak mahasiswa yang memilih kumpul di mesjid. Selain buat berteduh, mereka sepertinya sedang berlomba menyusun wirid bersaing dengan bunyi deraian air hujan yang sedang bertasbih memuji asma-Nya. Allahumma shoyyiban naafi’an...

Bang Andri baru saja selesai sholat sunnah tahiyatul masjid. HP bergetar. Ia angkat.
”Bang, kita ada di selasar utara. Udah pada kumpul. Abang dimana?”
Ia bilang, ia sudah di dalam mesjid. HP pun dimatikan setelah salam. Bang Andri bergegas menemui sekumpulan mahasiswa yang tak jauh dari lokasinya. Mereka nampak asyik tertawa. Saling meledek. Entah apa yang dibicarakan.

Sesuai janji, Bang Andri siang itu memang berencana mengisi KAWAN alias Kajian Ikhwan Fakultas Hukum UI. Sesuai namanya, maka yang boleh ikut hanya ikhwan aja alias laki-laki. Awalnya ia berpikir polos aja. Gak ada pikiran macam-macam. Namun pas sesi tanya jawab, ia mulai menemukan korelasi nama forum tersebut dengan isu yang kerap dimunculkan. Kira-kira apa coba? Ya, meski awalnya ia diminta berbicara seputar tarbiyah islamiyah, begitu sesi tanya jawab, mulai terjadi deviasi tema. Mereka mulai nyerempet-nyerempet omongin akhwat, nikah dan jodoh. Maklum, inikan Kajian Ikhwan. Bujang pula. Pas deh.

Bang Andri bertekad gak mau terseret terlalu jauh dalam tema ”sakral” itu. Ia cuman bilang kepada mereka di penghujung diskusi, 
”Ada dua tema yang gak akan selesai dibahas. Yakni omongin dunia jin dan dunia akhwat. Karena keduanya punya sifat yang mirip untuk dibicarakan. Antara ada dan tiada....”, jelasnya sambil tersenyum. 
Mereka tertawa. Tapi kurang puas.
Ia tahu, mereka akan bertanya lagi. Kalau gak bicarain akhwat ya masalah nikah. Namun sebelum mereka bicara, ia buru-buru bertanya balik. Khawatir keduluan. 
”Menurut antum emang apa saja syarat untuk persiapan nikah?” 
Pertanyaannya disambut ragu. Ada salah seorang yang mau menjawab tapi begitu melihat teman-temannya diam, dia menahan diri. Suasana jadi kaku. Masing-masing menahan diri sambil senyam senyum. Mereka sepertinya sedang menunggu jawaban langsung dari mulut Bang Andri. Seperti para santri menunggu fatwa sang kiyai.

Bang Andri gak tahan diam lama-lama begini dan langsung berkomentar dengan nada menyindir, 
”Kalau gak tau syaratnya berarti pada belum pada siap nikah nih!!”
Komentarnya membuat seorang mahasiswa yang sepertinya biang isu-isu pernikahan di kelompok itu, terpancing. Tanpa ragu dia menjawab, 
”Ya..kita sih tahu bang. Persiapannya mental dan modal khan? Mental artinya siap menanggung resiko dan modal maksudnya punya fulus yang lumayan cukup. Dan kayaknya kita sih belum sampe kesana persiapannya”, mimiknya serius. 
Yang lain mengangguk. Menatap tajam ke arah Bang Andri. Mereka senyum. Menunggu Bang Andri menimpali.
”Hanya itu? Ada jawaban lain?” 
Ia coba melempar pertanyaan lagi. 
Karena gak ada yang menyahut, Bang Andri pun akhirnya memberi mereka sebuah ilustrasi. 
“Coba antum perhatikan. Ada seorang perantau dari Medan mau datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ia memiliki mental yang kuat dan modal uang yang banyak. Begitu sampai di Jakarta, dia bingung mau ngapain karena gak punya ilmu buat mengadu nasib di Jakarta. Akhirnya lama kelamaan, modalnya pun habis dan dia pun jadi gembel alias pengemis di Jakarta.”

Nampaknya mereka mulai manggut-manggut. Sedikit mengerti. Minta Bang Andri melanjutkan lagi. 
”Itulah resiko orang yang tidak punya ilmu. Mental yang kuat dan modal yang banyak pun lama-kelamaan akan habis. Begitu juga dengan urusan nikah, jika tidak ada persiapan ilmu, maka banyak pasangan yang gagal dalam berumah tangga. Mental yang kuat pun akhirnya rapuh. Modal yang banyak akhirnya lenyap. Karena suatu urusan yang dikerjakan bukan oleh ahlinya, maka kita tinggal tunggu kehancurannya.”
Sunyi. Mereka menatap serius ke arah Bang Andri. Kurang puas. Bang Andri seperti dipaksa untuk bicara lagi.

”Sebelum menikah, banyak yang dilupakan oleh sebagian orang. Mereka terpacu untuk mengumpulkan banyak uang dan menguatkan tekad. Namun mereka mengabaikan persiapan yang paling penting. Yakni ilmu. Ilmu Nikah. Padahal mereka hendak memasuki kehidupan baru, yang belum terjamah. Dengan waktu yang panjang. Tak terbatas. Bayangkan kalau rumah tangga tidak didasari ilmu. Semua serba coba-coba. Dan akhirnya banyak yang gagal. Rumah tangga bubar. Kalaupun ada yang bertahan, hanya fisiknya saja. Hati menjerit ingin keluar dari situasi tersebut.”
”Jadi harus gimana bang?”
Mulai ada yang menimpali.
”Ya seperti kata qur’an. Fas’alu ahladz dzikri inkuntum laa ta’lamuun. Bertanyalah pada ahlinya jika kamu tidak mengetahui. Artinya, kalau emang benar-benar mau nikah, dari sekarang antum harus mulai rajin cari ilmu nikah. Tanya sama yang ahli. Pakar parenting kan udah mulai banyak. Sampai nanti lama-lama ada juga yang mau buat sekolah pernikahan atau kampus nikah...”

Sampai di sini semua pada bingung. Lumayan kaget. Senyum tipis. Tapi ekspresi mereka membenarkan pernyataan tersebut.
”Maksud abang, ilmu nikah itu harus ada kurikulumnya dan harus punya kampus sendiri?”
”Iya dong. Masalah rumah tangga khan banyak sekali. Mulai dari komunikasi dengan pasangan, manajemen keuangan, manajemen konflik, komunikasi pengasuhan anak, membentuk karakter anak, bicara sex dengan anak, dan lain-lain yang dibutuhkan bagi seseorang saat berumah tangga. Jangan sampai pas jadi ayah, mengasuh anak coba-coba. Akhirnya marah-marah begitu anak sulit diatur. Padahal itu semua karena kita gak punya ilmunya.”
Mereka masih terkesima. Seolah-olah tersihir dengan kalimat-kalimat itu. Bang Andri menghela nafas
”Di luar negeri sudah ada beberapa negara yang menerapkannya. Mereka buat sekolah bagi calon ayah dan ibu. Di Amerika disebut Parenting School. Di Malaysia namanya sekolah keibu-bapakan. Dan masih banyak yang lain. Sedangkan di kita sepertinya belum ada. Kursus pra nikah aja masih jarang. Padahal itu perlu banget. Yang baru mengadakan juga umumnya gereja-gereja. Setiap calon pengantin yang mau menikah, wajib kursus dulu per minggu di gereja selama 3 bulan sebelum dinyatakan layak menikah. Umat Islam masih jauh ketinggalan untuk urusan itu”
”Bener bang”, si biang menimpali.
”Kita kayaknya cuman sering dikasih motivasi buat menikah dini oleh para ustadz. Tapi gak pernah diajarin bagaimana caranya menjalankan pernikahan. Termasuk menjadi suami dan ayah yang baik. Kalau gitu kayaknya perlu juga nih di buat kampus nikah. Abang aja yang jadi rektornya ya. Ha ha ha !!!”

Ia tertawa lepas. Yang lain ikut tertawa. Puas. Usulan ini terdengar aneh, tapi semua setuju. Walau gak tau bagaimana mewujudkannya.
Bang Andri pun tersenyum puas, dan mulai usil lagi bertanya,
”Jadi kapan nih antum semua mau menikah?”
Si biang menjawab mewakili teman-temannya,
”Entar bang. Kalau udah dapat gelar S.Ni!!”
Yang lain heran. Gak ngerti. Si Biang meneruskan,
”SARJANA NIKAH !!!”

***


by: ajo Bendri Jaisyurrahman

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger