Pasien Pernikahan

“Akhirnya ku menemukanmu,

Saat hati ini mulai berlabuh.........
Kuberharap engkaulah,
Jawaban segala risau hatiku.......”

Senandung biru itu tiba-tiba menjadi akrab di telinga Indra. Bukan hanya di telinga. Tapi sudah menjalar bersama aliran darah di tubuhnya. Saraf korteksnya pun laksana jaring laba-laba yang menjerat dan mengikat syair lagu tersebut. Hingga tak boleh “bunyi-bunyi’ itu beranjak dari pikiran Indra. Ia menemani Indra saat di atas kereta, saat di jalan raya, saat mengendarai motor honda, saat meniti tangga, di ruang membaca, hingga saat sedang asyik bercengkerama dengan sohibnya. Dan semakin terasa kuat menggema ketika Indra sedang sendirian di kamarnya yang hanya berisi seonggok kasur dan sepotong kaca. Aneh. Tak disangka.

Padahal, “pertemuan” dirinya dengan lagu tersebut hanyalah sepintas. Tak diniatkan. Kala itu ia sedang berteduh di teras sebuah toko kaset. Suasana hujan lebat. Langit berkilat-kilat. Pemilik toko, entah sengaja atau tidak, menyetel lagu tersebut. Menemani tubuh Indra yang basah. Syahdu. Rinai hujan yang berdentum ke tanah, seolah menjadi harmoni yang senada dengan nada-nada lagu itu. Tanpa sadar, irama tubuh Indra turut terbawa alunan lagu yang cukup mellow tersebut. Alam bawah sadar Indra menerjemahkan suasana saat itu laksana gelora jiwa yang dahaga menemukan mata air nirwana. Sungguh melankolik. Hingga hujan berhenti, lagu tersebut masih mengalun kesekian kalinya. Berulang-ulang. Indra menikmati. Tak bosan.

Berangkat dari teras toko itu, ketika hujan tak lagi mengguyur, Indra masih terbuai. Meski baru mendengar lagu itu untuk kali pertamanya, ia merasa lagu itu seperti sedang menyuarakan suara hatinya. Atau lebih tepatnya, AKAN menyuarakan hatinya. Kelak. Ia akhirnya akan menemukan...ah...entah siapa. Ia ingin hatinya segera berlabuh. Ya, Indra memang sedang kasmaran. Tapi tak tahu dengan siapa. 
Seperti anak muda belia lainnya, saat ini ia sedang berjuang menaklukkan geliat hormon testosteronnya yang meledak-ledak hebat dalam kumparan syahwat. Untunglah, ia telah dibekali oleh bang ihsan, guru ngajinya, tips bertarung dalam “situasi” tersebut. Tapi lagi-lagi, senandung itu muncul. Naluri kelelakiannya bangkit. Indra memejamkan mata membayangkan jika ia menikah nanti. Ah...sungguh indah. Seakan-akan malaikat tersenyum padanya. Dan seluruh alam memberi restu untuknya. Hatinya berbunga-bunga. Tak terkira.

Tapi...Astaghfirullah...Indra tersadar dari lamunan. Lamunan yang menggetarkan naluri syahwatnya. Ah...Indra malu. Betul-betul malu. Dalam beberapa hari ini, pikirannya seperti kacau. Di dalam kamarnya yang sempit Indra merenungkan kembali ide-ide pernikahannya. Hari sudah beranjak malam.
Indra mempertanyakan, entah kenapa, pikirannya selalu tertuju pada momentum pernikahan. Ia begitu berhasrat melaksanakan sunnah nabi tersebut. Terlebih begitu mendengar taujih dari Ustadz Mabrur, yang dikenal pakar pernikahan, untuk segera melakukan pernikahan di usia muda. Ia pun banyak melahap buku-buku tentang motivasi pernikahan dini. Jadilah, imajinasinya dalam beberapa bulan terakhir ini mengarah kepada upaya nikah..nikah...dan nikah. Tanpa ia sadari, segenap aktivitasnya saat ini semua bermuara kepada satu hal : segera menikah. Kuliah dikebut agar segera lulus. Setelah lulus, cari fulus. Kemudian persiapan nikah serius. Bahkan saat ini pun, ia sudah merintis bisnis kecil-kecilan sebagai persiapan jikalau sewaktu-waktu ada akhwat yang kecantol di hatinya. Demikian Indra sudah merencanakan semuanya.

Namun, ia tak dapat memungkiri. Hatinya resah. Bayangan pernikahan selalu membuat hatinya gundah. Antara harap dan cemas jadi tak terpisah. Ia menjadi tak berdaya dan seperti dipenjara dengan pernikahan yang diidam-idamkannya. Tanpa terasa, matanya berkaca-kaca. Ia merasa malu. Hina. Terlebih begitu menyadari, seluruh potensinya kini serasa menjadi hilang dan lenyap demi urusan nikah. Di saat teman-teman pengajiannya, sibuk membicarakan program dakwah, perluasan teritori dakwah hingga perekrutan kader baru, justru ia asyik dengan alam pikiran dan kesibukannya dalam urusan nikah. Urusan dakwah terabaikan. Ia berapologi, saatnya nanti toh dakwah masih bisa dilakukan, bahkan lebih dahsyat lagi, jika ia telah menikah. Benarkah? Ia sendiri ragu akan hal itu. Jangan-jangan justeru ia makin terbuai dan meninggalkan amal-amal dakwah yang semestinya dia lakukan. Arghhh....
Dialog hebat dalam batinnya tersebut perlahan-lahan surut akibat rasa kantuk yang menyergap. Malam menyelimuti tubuhnya yang kecapaian. Terlebih suasana hujan sepanjang hari yang menjadikan kelopak mata enggan terbuka dan ingin selalu menguncup. Indra pulas. Benar-benar pulas.

Dalam mimpinya, ia merasa seperti berada di sebuah ruangan dalam rumah sakit. Nampak jelas di hadapannya seorang lelaki berkulit putih, memakai kacamata minus, dan di tangan kanannya terdapat infus. Laki-laki itu tengah berada dalam perawatan, meski kondisinya nampak segar dan bugar. Indra mengamati jelas lelaki itu.Rasanya ia mengenal akrab sosok lelaki yang terbaring di atas dipan berkasur putih tersebut. Ia mencoba meyakinkan sekali lagi. Yap...betul!! Ia tidak lagi ragu. Lelaki itu adalah dirinya. Indra sedang mengamati dirinya yang sedang di rawat di sebuah rumah sakit. Takjub.
Dalam situasi tersebut, Indra merasa dirinya seakan-akan penonton yang hanya mampu menyaksikan pementasan adegan yang nampak di depannya. Lelaki yang ada di hadapannya, yang tak lain adalah dirinya, terlihat selalu murung dan gelisah. Sesekali menyaksikan pintu masuk ruangan yang terletak di pojok kanan tempat ia berbaring. Ia seperti mengharap kehadiran seseorang. Entah siapa. Matanya tak pernah lepas dari pintu yang berwarna putih terang tersebut.
Tak berapa lama, sesosok wanita berseragam hijau muda menyembul di balik pintu sambil membawa sesuatu. Kontan lelaki itu segera bertanya, “Sudah masuk jam makan siang ya suster?”. 
Wanita itu yang ternyata seorang suster membalasnya dengan tersenyum tipis, untuk kemudian menjawab ringan, sambil merapikan tempat tidur lelaki tersebut. “Sabar ya mas, jam makan siang masih lama. Sekarang masih pagi. Coba cari kesibukan dulu deh biar gak gelisah. Kalau kita sibuk, menunggu datangnya jam makan siang jadi tak terasa lho. Tahu-tahu datang deh waktunya. Udah gak sabar ya, Mas Indra?”. 

Indra terkaget. Namanya disebut dengan jelas oleh suster itu. Dan itu membuat dirinya tersentak dari tidur pulasnya. Kelopak matanya mengembang cepat, untuk kemudian segera menyadari bahwa apa yang baru saja dialaminya adalah sebuah mimpi. Ya. Mimpi yang aneh. Penuh tanya. Ia betul-betul menyaksikan dirinya lemah di pembaringan dipan rumah sakit itu. Tak ada aktivitas. Diam. Sambil menunggu. Yang ditunggu adalah datangnya waktu makan siang.

Indra merenung. Berpikir keras. Segala ingatan tentang obsesi pernikahannya berkelebat cepat satu persatu. Romantik namun kerdil. Indra kembali teringat episode lagu melankolik yang ia dengarkan tadi sore. Syairnya kembali terngiang. Indra istighfar. Nafasnya tertarik perlahan dan terhembus panjang. Lega. Ya, mimpi barusan adalah jawaban atas masalah yang dialaminya beberapa hari ini. Sakit. Indra tersindir. Hatinya nyinyir. Ia menyadari kalau beberapa waktu ini sebenarnya ia seperti orang sakit. Sakit akan nikah. Ia telah menjadi pasien pernikahan. Itulah mengapa ia tidak produktif. Karena demi menunggu moment pernikahan, waktunya tersita dalam jerat-jerat pikiran-pikiran itu. Pikirannya dimanjakan. Ia produktif dalam alam pikiran, namun mandul dalam amal. Kembali ia istighfar. Mengingat banyaknya tugas yang belum diselesaikan. Kuliah. Dakwah. Amanah. Belum ada satupun yang rampung dan menjadi PR-PR yang dibiarkan menggunung. 

Suster dalam mimpinya tadi memberi pesan yang menggores batinnya laksana terapi bekam. Sakit memang. Tapi menyehatkan jiwa. Ia tahu solusinya. Ia tak lagi ingin menjadi pasien rumah sakit nikah. Ia tahu jam “makan siangnya” akan datang. Dan selagi masa penantiannya, ia tak ingin diam. Ia mau melakukan sesuatu. Ia bangkit. Masih ada 15 menit untuk berkonsultasi dengan “dokter cinta”. Dia-lah yang akan menyajikan “makan siang” untuknya jika telah tiba saatnya. Segala rencana esok telah disusun. Energi amalnya menyembur dahsyat. Melengserkan pikiran seputar pernikahan yang selama ini menjadi raja di otaknya. “Pernikahan itu kan datang seperti makan siang”. Kalimat tersebut diulang-ulang Indra. Hatinya mantap.

Dari kejauhan, menyelinap sayup-sayup rintihan suara seraya berlomba dengan nyanyian angin malam. Suara murottal dari masjid komplek rumahnya makin menggema. Mengalun indah. Mengiringi hati Indra yang semakin basah.
Hai orang-orang berselimut. Bangun dan berilah seruan..!!!”
***

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger