Perlukah iri?

Kisah mengajar 20102015

"Apa yang paling membuat kalian bersyukur selama hidup di dunia?" Tanya saya pada 3 siswi di kelas itu.

Ada salah satu siswi jawab "ketika semua permintaan saya dikabulkan sama umi".

2 siswi lainnya menatap dan komentar iri "iiihhh enak banget jadi kamu, mamaku gak gitu".

Iri pasti hadir ya, apalagi diusia yang ukuran kebahagiaan adalah banyaknya harta. Pasti bahagia memiliki orang tua yang Allah mudahkan untuk mengabulkan semua permintaan anak. Atas iri yang dirasakan teman-temannya, kenapa dia tidak bangga?

"Apa hal yang paling menyenangkan bagi hidup kalian?" Tanya saya lagi.

Dan lagi-lagi ketika giliran siswi itu yang menjawab, jawabannya membuat saya dan teman-temannya kaget.
"Saat ummi ga marah-marah dan ga membandingkan saya dengan orang lain, tapi itu jarang". Jawabnya sambil menunduk menahan tangis.

Hmmm sampai di sini, saya menarik nafas yang berat. Sederhana, sederhana saja keinginan rata-rata setiap anak. Ketika orang tua tidak membandingkan. Itu saja.

Dan kalimat pembuka tersebut membuatnya meluapkan segala sampah emosinya, tentang sikap orang tuanya selama ini. Ada kemarahan yang luar biasa. Ada kekecewaan yang luar biasa, hingga mengalahkan cerita kebaikan sebelumnya. Andai kau bisa merabanya duhai ummi.

Sebab perbandingan yang sedikit saja akan menciptakan luka, apalagi jika ditambah dengan bentakan dan marahan.

Hingga di akhir pertemuan saya akhiri dengan satu pertanyaan "gimana teman-teman? Masih mau iri dengan takdir orang lain?".

"Enggak kak". Kompak menjawab, dengan mata yang memerah.

Semoga mata yang memerah malam ini menjadi bukti kesabaran menghadapi orang tua ya sayang.

Peluk siswi-siswiku, semoga tetap berperilaku baik pada ayah ibu, meski sulit, meski sakitnya menembus kulit.

-Aldiles Delta Asmara-

Mendidik itu mencintai

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Mendidik Mencintai

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger